Ayo, Kita Beli Jalan

Mobil murah. Horeeeeee!!!! Begitu mungkin respon orang-orang yang selama ini mengidam-idamkan memiliki mobil pribadi, namun keadaan keuangan tidak memungkinkan untuk itu. Eit…, tunggu dulu, masih terjangkaukah? Lalu, murah itu berapa? Sejuta? Sepuluh juta? Lima puluh juta? Yang jelas gosipnya di bawah 100 jeti, bok… Masih mahal juga ya (untuk ukuran kantongku, sih; entah kantong Anda) “Mampu beli gak ya?” pikir orang-orang sepertiku, “ah, kredit aja dong… Palingan cicilannya juga ndak seberapa”, itu ide lain yang ada di benak kami yang pastinya ide sangat cemerlang. Beres. Bentar lagi punya mobil, ngeeeeeeng.. dindin… Tiba-tiba… Hah!!!! Masak? (sambil mata membelalak)

Ternyata biang kekagetan tadi adalah harga mocin alias mobil cina yang kabarnya cuma 13 juta. Hadeeeuuuuh… murah amir. Ini mah super-duper murah (geleng-geleng kepala). Bisa beli, ehm… ralat: kredit ding, sekaligus tiga biji nih. Kalau yang beginian SUPER-DUPER HOREEEEE dong namanya. Kalau ndak percaya, klik ini, nih!

Kebijakan mobil murah ini membuat heboh dan menjadi isu hangat minggu-minggu terakhir ini. Seperti biasa tentu ada yang pro dan ada pula yang kontra. Sampai-sampai Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, melayangkan surat “protes” kepada Wakil Presiden Boediono perihal mobil murah ini. Protes yang sangat wajar dari orang nomor satu di DKI mengingat tugas beratnya mengurai kemacetan di Kota Jakarta belum tuntas dan bahkan baru mulai.

Ah, sudahlah. Pro-kontra atas suatu kebijakan publik sudah sangat jamak terjadi. Pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan pada hakikatnya memang untuk kepentingan rakyatnya (semoga memang demikian). Lalu, Jokowi yang protes ke Pemerintah Pusat soal itu ya sangat dimaklumi dan jangan dibilang pencitraan. Bukankah gubernur satu ini memiliki citra sangat positif di mata rakyat Indonesia? Ah (sekali lagi), biasalah itu adu komentar antara partai politik penguasa dan partai politik oposannya. Yang gini-gini, mah, publik dah paham. Apakah kita mau ikut ribut juga soal kebijakan itu? Males! Mereka-mereka yang ngurusi negeri inilah yang harus selesaikan. Urusan kita adalah mari cek rekening dan celengan-celengan kita, mulai pikirkan mau beli jenis mobil murah yang mana, berapa biji mau dibeli, warnanya apa, atau nanti belinya kontan atau nyicil. Yuhuuu… ngeeeeeng… din… din…, ngaciiiir…. Bravo pemerintah. 😀

Astaghfirullah… Kok jadi senang berlebihan begini, ya? Euforia ndak jelas. Kebijakan ini memang OK, tapi mesti dipikir-pikir dan direnung-renungkan lagi. Setelah istighfar tadi, sejenak terlintas di benakku pengalaman selama tinggal di Depok tiga tahun lalu.

Lautan kendaraan
Lautan kendaraan (Google image)

Pernah merasakan suasana jalan dengan kepadatan lalu lintas seperti yang ada pada gambar? Bagi Anda yang sempat singgah di Jakarta mungkin pernah mengalaminya. Mereka-mereka yang tinggal di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta dan sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang disingkat dengan akronim Jabodetabek) kemacetan sudah jadi rutinitas harian. Saking rutinnya, melihat dan merasakan berada di tengah-tengah kemacetan jalan-jalan di kota yang sering disebut dengan DKI itu seperti aktivitas harian lainnya, seperti bernafas, makan-minum, tidur, dan lain-lain yang setiap hari dilakukan. Arek-arek Jatim mengibaratkan itu dengan, “Wes, sego-janganlah pendeke“. Hahaha.. apa artinya? Tanyakan kepada orang Jatim kalau kebetulan dia ada di sebelah Anda. Kalau ndak ada? Terima apa adanya, deh… 🙂 Bunyi klakson yang memekakkan telinga dan suara makian dari pengendara lain pun menjadi santapan sehari-hari. Sudah terjebak macet sementara ada janji ketemu rekanan, klien, atau wawancara dan tes kerja, yang harus ditepati ditambah dengan bunyi klakson dan kata-kata kasar makian, suasana hati yang panik malah jadi tambah stress. Kekacauan lalu lintas begitu bisa-bisa membuat stroke di usia muda.

Busway pun kejebak macet. (google image)
Busway pun kejebak macet. (google image)

Sepertinya kemacetan di Jakarta dan sekitarnya pun seperti tidak ada solusinya. Upaya yang sudah dilakukan selama ini, seperti penyediaan sarana angkutan umum massal yang bernama Bus Transjakarta, tidak ada artinya dan bahkan di koridor tertentu malah semakin membuat macet. Lalu, apa dong yang harus dilakukan? Inilah sekarang yang rupanya sedang diupayakan Pemerentah DKI meski usaha untuk mengurai kemacetan lalu lintas itu belum pula membuahkan hasil signifikan. Gagasan baru berupa nomor kendaraan ganjil-genap bergantian turun ke jalan raya pun siap digulirkan. Jakarta masih macet sampai dalam jangka waktu yang belum bisa ditentukan berakhirnya. Oiya, saking akrabnya masyarakat Jakarta dengan kemacetan ini sampai-sampai melahirkan beberapa istilah untuk keadaan macet ini. Istilah padat, padat merayap, macet total, dan sebagainya tidak asing bagi pengguna jalan raya di Jabodetabek, termasuk istilah plesetan untuk itu.

Hahahaha… ternyata apa yang kupikirkan setelah istighfar tadi bukan sekilas, tetapi banyak. Itulah faktanya. Apa yang Anda pikirkan setelah mobil murah itu benar-benar sudah dipasarkan? Intermeso dikit, apa ya bagusnya akronim untuk mobil murah ini, mobmur, mobrah, atau bilurah? Itu kalau kita menganalogi kepada bentuk akronim mobnas (mobil nasional) dan mocin (mobil/motor cina).

Kembali ke topik.

Bisa kubayangkan jalanan, bisa jadi tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain di Nusantara Raya ini, bakalan macet dengan segala tingkatannya. Macet berkategori padat, padat merayap, padat merayap susul-menyusul, padat merayap gila-gilaan, padat merayap panjang antrian merapat, padat merayap tanpa harapan di dalam antrian panjang, padat merayap tersendat-sendat, padat merayap terjebak macet di pintu tol, atau padat merayap pengin pipis (ini sumber istilah-istilah itu dan akronim “nakal”nya ada di situ).

Apa pula yang dipikirkan para penentu kebijakan itu dengan mobil murah ini? Apa mereka tidak bisa membayangkan bakalan seperti apa dampaknya. OK-lah, kalau kebijakan itu dengan tujuan masyarakat bisa membeli mobil dengan harga yang dapat mereka jangkau, masyarakat yang mana jadi sasarannya. Dengan harga segitu tentu orang-orang dari kelas menengah bahkab atas yang bisa membelinya; bukan orang-orang miskin yang jumlah mereka tentu jauh lebih banyak daripada kalangan menengah. Lagi-lagi dapat dilihat kepada siapa keberpihakan pemerintah kita.

Saya kok setengah yakin orang-orang dari kalangan atas juga akan memborong mobil murah ini. Mereka mungkin membeli untuk pembantunya, satpam, atau tukang kebon mereka. Itu kan dalihnya. Tapi, orang Indonesia kan senang menurunkan strata sosial mereka untuk keuntungan pribadi. Mau contoh? Pengendara mobil mewah tidak sedikit yang tertangkap kamera sedang membeli BBM bersubsidi. Orang-orang mampu ramai-ramai ikut ngantri bantuan tunai dari dari pemerintah. Apalagi ini mobil, lambang status sosial. Bisa terjadi orang menumpuk mobil buat adu banyak-banyakan mobil.

Kalau begitu, siapa yang diuntungkan? Pengusaha mobil yang paling diuntungkan. Setelah itu, yang diuntungkan adalah lembaga pembiayaan (leasing). Siapa lagi? Bisa jadi orang-orang tertentu yang menerima “ucapan terima kasih” atas terealisasinya mobil murah. Bagaimana dengan rakyat miskin? Mereka akan tetap gigit jari, tetap jalan kaki, atau bahkan tetap menadahkan tangan-tangan mereka di jendela mobil murah yang sedang menunggu lampu hijau menyala di perempatan jalan. Yang miskin tetap tidak tersentuh dan tetap terpinggirkan. Nasib… nasib…. 😦

Bagaimana pula dampak mobil murah bagi jalan raya? Sudahkah ini dipikirkan akibat jangka panjangnya oleh pemerintah? Semestinya pemerintah mengupayakan transportasi massal secara murah sebagai prioritas. Dengan kebijakan ini tentu segala lapiran masyarakat bisa menikmati. Andai nanti seluruh ruas jalanan dipadati kendaraan, terutama di Pulau Jawa, siapa yang bertanggung jawab? Atau pertanyaan ini, apakah nanti ruas jalan di Jakarta dan kota-kota lain dapat menampung mobil-mobil murah yang sudah dibeli oleh masyarakat? Tidak tertutup kemungkinan keluarga menengah akan membeli lebih dari satu mobil untuk masing-masing anggora keluarga mereka. Lalu, mereka (satu keluarga) terjebak macet di satu ruas jalan yang sama. Hahahahaha.. sungguh sebuah kelucuan yang ironis.

Solusinya apa kalau semua orang bisa membeli mobil sementara ruas jalan sebegitu-begitu aja? Gampang. BELI AJA MOBIL SEKALIGUS BELI PULA JALAN RAYANYA. Ayuk, kita ramai-ramai beli jalan supaya tidak macet dan supaya Anda tidak lagi terjebak dalam keadaan seperti gambar-gambar di atas dan gambar di bawah ini.

Ini namanya padat merayap.
Ini namanya padat merayap. (Google image)

Ayuk, kita beli jalan!!!!

10 tanggapan untuk “Ayo, Kita Beli Jalan

  1. Hahaha.. Analoginya sama dengan “kalo beli provider jangan lupa beli sinyalnya juga” 😀
    Saya ada pro, namun ada kontranya juga mengenai mobil murah ini. Tapi jujur, dari hati yang terdalam, sebenarnya pengen sih bisa punya mobil, apalagi murah. Kapan lagi??/ hihiu

    Suka

    1. Iya betul… Pro-kontra tergantung masing-masing individu kan, dek. Sah-sah saja kok itu terjadi asal tidak sampai “gontok-gontokan”.. Ehm… analogi? Bisa jadi :D. Terima kasih apresiasinya ya…

      Suka

  2. Ayo menangkan 250K Voucher Sodexo sesimpel Like Fanpage, Follow Twitter, dan Isi Survey yang terdapat di website ACTIVORM. Activorm adalah Activation Platform untuk Social Networks Marketers, Online Marketing Ads, Internet Marketing dan sekaligus memberikan Prize bagi fans.

    Suka

  3. Ketika suatu negaramampu mengelola aset dan sumber daya yang dimiliki maka menciptakan produk yang mampu bersaing di pasar bukan hal yang sulit. Semoga negara kita mampu mengelola sumber daya yang dimiliki hingga rakyat makin sejahtera. Salut, tulisan ini sangat inspiratif. Salam

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.