Nikmatnya Menunggu Surat

Hari ini kugembira

Pak Pos melayang di udara

“Aduh!! Duanc…(tit.. sensor)!

Sontak si Jaya pegang kepala dan menoleh ke belakang ke arah tangan yang menoyor kepalanya. Sambil dongkol dipelototinya si Dodok, kawannya.

“Kenapa?”

“Jangan sembarangan ganti syair lagu orang! Lagian ngapain juga Pak Pos pethakilan di udara?” kata Dodok tanpa dosa. Kemudian dinyanyikannya syair itu versi benarnya seperti benar-benar sedang di panggung. Lebay

Hari ini kugembira

Pak Pos membawa berita

Dari yang kudamba

dst…

“Tuh…, begitu yang bener. Main ganti aja sembarangan. Bisa dimarahi Bang Odie Agam sama Mama Ina”, kata Dodok menggurui Jaya.

“Wuidih, lagakmu kayak yang akrab saja sama dua artis itu, prekethek”, cibir si Jaya.

Seperti biasanya kemudian mereka berdebat soal itu sampai berkepanjangan dan sepertinya kalau sudah begitu teman-temannya pada kabur. Mereka tinggalkan dua temannya yang penggemar lagu-lagu kenangan tahun 80-an dan dua-duanya sama-sama mengidolakan Yuni Shara itu.

🙂

Ya, sudahlah, kawan. Biarkan dua orang itu berdebat, cakar-cakaran, atau jambak-jambakan (lho, mereka kan cowok? Masak cakar-cakaran dan jambak-jambakan. Ih…). Lebih baik kita cerita-cerita soal Pak Pos dan surat, yuk. Mengungkap kembali masa lalu, tapi ini masih ada sangkut-paut dengan dua tulisan saya sebelum ini, kok, masih tentang tulis-menulis. Enaknya cerita dimulai dari mana ya? O iya, dari perkembangan internet dan HP saja, ya.

Begini, kawan. Sekarang ini fasilitas dalam teknologi internet dan telepon gengam (HP) sudah semakin berkembang. Orang dengan mudah dan cepat mengirimkan informasi kepada orang lain. Di internet ada fasilitas yang berupa e-mail. Sementara itu, telepon genggam memiliki layanan short message service (SMS). Dua fasilitas ini sangat memudahkan orang untuk bertukar informasi dengan cepat. Ditambah lagi dengan apa yang disebut chatting yang sekarang juga bisa diakses melalui HP. Ibaratnya, sekarang ini nggak ada yang namanya batas ruang dan waktu. Si A yang di Jakarta dengan si B yang di Surabaya dalam waktu yang sama bisa ngobrol dan saling melihat wajah. Singkat kata, jaman sekarang orang tinggal pilih fasilitas apa yang ingin mereka gunakan untuk berkomunikasi dengan kawan, pasangan, keluarga, atau siapa saja. Orang bisa nelpon kapan saja dan sesukanya. Kalau pulsa nggak terlalu banyak, bisa SMS sepuasnya. Kalau pengen ngoborl kangen-kangenan dengan kawan atau keluarga yang lagi jauh, bisa menggunakan web cam melalaui fasilitas chatting. Ouh… uenak buanget hidup di era sekarang.

Tahukah kawan, jaman dulu nggak seperti itu. Jaman dulu? 🙂 Kesannya umur kita dah “kuno” banget. Kita sebut saja era 80-anlah. Merembet dikit ke tahun 70-an ya nggak apa-apa juga. Yang jelas kira-kira waktunya sampe pertengahan 90-an sebelum telepon genggam, yang waktu itu bisa dipakai menandai apa orang itu kaya atau tidak, mulai ada.

Begitulah, kawan. Masa-masa itu alat komunikasi yang paling populer adalah surat. Ada juga, sih, yang lain. Ada yang namanya telegram, tapi ini dipakai kalau mau mengirim berita-berita darurat karena waktu itu termasuk lebih mahal dibandingkan dengan biaya pengiriman surat. Karena hitungannya per kata kali sekian rupiah. Kalau dalam keluarga, banyak orang mengidentikan telegram ini dengan berita duka karena biasanya orang mengabari keluarganya melalui fasilitas itu. Kenapa nggak telepon? Lho, sambungan telepon ke rumah-rumah juga nggak seperti sekarang kali.

“Lho, setopsetop, kapan nyambungnya dengan judul?”

“Ya, nggak apa-apalah melenceng-lenceng dikit. Toh, masih ada hubungannya juga”

OK, kawan. Kita lanjut lagi. Jadi, masa itu orang kalau berkirim-kiriman kabar ya melalui surat yang paling banyak. Pacaran juga melalui surat. Melalui surat? Meskipun misalnya dua pasangan itu satu kelas? Iya. Memang begitulah kawan. Bagaimana caranya? Biasanya cara yang paling sering digunakan, ya, nitip teman sebangkunya. Atau, pura-pura pinjam buku terus waktu mengembalikan buku itu surat sudah diselipkan di dalamnya. 🙂 Asyik kan?

Nah, ini mulai nyambung dengan judul tulisan ini, kawan. perihal surat ini, yang paling berkesan ya para mahasiswa pada jaman itu. Pada umumnya mahasiswa di kampus-kampus negeri kan orang rantau dan ngekos. Komunikasi mereka dengan keluarga, kawan-kawan SMA yang kuliah di kampus lain, atau pacar yang ditinggalkan di kampung, ya melalui surat. Minta kiriman bulanan ke orang tua ya melalui surat terus uang bulanan itu dikirim melalui jas POS juga, namanya Pos Wesel. Transfer-transferan lewat bank masih jarang banget apalagi ATM. Antarbank saja belum online. Kembali lagi ke surat tadi. Kalau misalnya hari ini surat untuk pacar dikirim, sampainya bisa beberapa hari kemudian. Biasanya tiga hari kalau pake perngko kilat dan seminggu kalau pake perangko biasa. Yang rumahnya di pelosok desa ya lebih lama lagi. Kan, surat itu ke Kantor Desa dulu. Kalau perangkat desanya malas ngantar ke alamat yang dituju, bisa dipastikan lebih lama lagi.

Seperti diceritakan di atas, kawan, memang komunikasi melalui surat itu lamaaaaa banget nyambungnya. Tapi, di balik itu ada kenikmatan tersendiri. Apalagi surat yang dikirim itu untuk Pacar. Kalau suratnya untuk orang tua dan minta kiriman, bikin was-was karena kalau nyampainya lama akibatnya kiriman uang akan terlambat sementara persediaan kas sudah menipis. Pokoknya bisa bikin deg-degan indah gitu.

Begitulah, kawan. Mengapa bisa bikin deg-degan tapi indah? Caoba bayangkan, kawan. Balasan surat itu paling cepat ya seminggu dan normalnya dua minggu kemudian. Nah, di antara waktu-waktu menunggu itulah ada harapan ada suasana hati yang indah. Setiap dengar suara motor Pak Pos lewat langsung bergegas dari segala aktivitas yang sedang dilakukan saat itu kemudian lari ke gerbang kos.

“Belum ada, Dik”, sapa Pak Pos ketika melintas di depan kita.

Yah… Kecewa. O iya, setiap anak kos biasanya hapal suara motor Pak Pos yang khas karena pakai motor dengan merk dan jenis tertentu dan sudah pasti warnanya yang oranye itu. Biasanya juga anak kos dan Pak Pos saling kenal.

Kembali ke persoalan, kawan. Begitu terus dalam masa-masa menunggu itu. Dengar suara motor Pak Pos lari ke gerbang, kecewa, begitu lagi. Sampai pada suatu hari yang sudah ditunggu-tunggu. Surat atau wesel pun datang. Horeeeeee…..

Seperti lagu yang dinyanyikan Mama Ina itu…

Hari ini kugembira

Pak Pos datang membawa berita

Dari yang kudamba

…..

Lari masuk kamar, menjatuhkan diri di kasur yang tipis, buka surat. Eh, pake dicium-cium dulu, kertas surat kan baunya wangi. Dan…. Ouh… Kamar yang sempit dan apek pun serasa jadi padang golf yang hijau dan sejuk.

Tuk,

Masku yang tersayang

di rantau

Salam kangen selalu

……

Begitulah, kawan. Setelah sekian lama menanti, akhirnya… Belajar pun semangat lagi. Pergi kuliah dengan tersenyum-senyum. Nikmatnya menanti surat.

Tapi, kawan. Banyak positifnya, lho, dengan surat-menyurat itu. Melatih sesorang untuk menulis. Karena apa? dibandingkan SMS yang singkat seperti itu, surat lebih mengeksplorasi kemampuan seseorang dalam mengungkapkan perasaan atau pikirannya (surat kan tidak hanya untuk pacaran). Surat bisa dipakai untuk melatih keterampilan menulis. Menulis apa saja, misalnya mengabarkan keadaan di sekitar kita.

Ini perlu diketahui, kawan. Pada masa itu ada juga jejaring sosial yang disebut dengan SAHABAT PENA yang anggotanya sampai pelosok tanah air Indonesia. Ada majalahnya juga yang diterpitkan oleh Perum Pos. Melalui sahabat pena itu kemampuan menulis bisa dieksplorasi karena bisa menulis apa saja dengan sahabat pena itu.

Selain itu, kawan. Pada masa jaya-jaya dunia persuratan itu berkembang pula satu hal positif berkaitan dengan hobi. Namanya FILATELI, hobi mengumpulkan perangko, baik itu perangko dalam negeri maupun luar negeri. Luar negeri? Berari dengan surat jaman dulu bisa untuk melatih kemampuan bahasa Inggris, dong? Iya. Sahabat pena waktu itu kan sampai luar negeri juga.

Begitulah, kawan. Kegiatan surat-menyurat itu memang banyak efek positif sebenarnya. Seperti yang diceritakan di atas. Tapi, sekarang ada e-mail yang berupa surat juga, tapi medianya yang berbeda.

Meskipun begitu, kawan. Kenikmatan menunggu surat itu adanya ya di surat dalam bentuk fisik seperti pada masa-masa 80-an dan sekitarnya. Kegiatan yang menyehatkan badan dan pikiran. Jalan ke kantor pos beli perangko dan mengirim surat sudah merupakan olah raga. Emosi kita dilatih. Melatih kesabaran.

Pengen merasakannya, kawan? Coba saja bersurat-suratan dengan kawan atau siapa saja yang berjauhan denganmu. Dan, RASAKAN SENSASINYA 🙂

13 tanggapan untuk “Nikmatnya Menunggu Surat

  1. he…he…he..
    koleksi prangko ya pak..aku pernah tuch..waktu dulu waktu sd..(*lama sekali ya..)
    kalau sekarang kirim email juga ada sensasinya…
    biasanya aku kirim via outlook kantor..
    ada perasaan deg2an nunggu email itu dibaca..
    trus kalau mau dibalas..aku sibuk baca dri atas smpe bawah..
    takut salah..
    seneng banget kalau emailny dibales..(^_^)

    Suka

    1. Masing-masing punya sensai sendiri ya. Mungkin dulu jaman surat-suratan yang bikin lebih surprise itu karena lamanya nunggu, amplop dan kertasnya yang indah dan wangi, atau karena perangkonya ingin dikoleksi.
      Yang jelas karena waktu itu nggak ada email kali ya… 😀

      Suka

  2. waaah, kl soal pak pos, jadi teringat pas masih S1, suara motor pak pos emang bikin kangen, jo. he he…tapi pernah ada cerita gini. si cewek pergi kuliah ke luar daerah, cowoknya kuliah di kampung doi. nah, tau ndak tu cewek -seperti cerita di atas- seneng banget saban datang pak pos. karena ada yang dinanti he he. trus akhirnya, tu cewek kawin ma pak pos ha ha ha jangan serius kali lah….oya prekethek tu apaan? bagus juga disosialisasiken, kata alm pak harto he he

    Suka

    1. Salam kenal juga, Aine…
      Soal bagian yang kamu suka itu, indah ya kata-katanya? Tapi itu kan jaman dulu. Kalau diterapkan sekarang, bisa-bisa yang terima surat langsung alay deh, “Hah, jaman sekarang masih pake kata-kata bigini, hellloooooo…!
      😀
      Btw, terima kasih apresiasinya ya. 🙂

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.