(bukan) Perempuan (biasa) Itu Makhluk yang “Gagah” Gemulai

Hari ini, kemarin, atau besok bukan hari peringatan yang berkaitan dengan perempuan. Pun, hari peringatan untuk ibu masih setengah tahun lagi. Tapi, kali ini aku ingin membicarakan tentang perempuan. Kata yang dulu dianggap mengandung nilai negatif terus diganti dengan wanita dan sekarang dipakai lagi dengan muatan nilai positif. Mengapa topiknya perempuan?

Nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma kangen sama ibu serta kakak dan adik-adik perempuanku. Entah kenapa juga pagi ini aku merasa bersalah kepada istri dan gadis kecilku. 😦 Cuma itu sebenarnya. Tapi, mengapa ceritanya kok jadi seperti judul di atas, aku juga nggak tahu. Tiba-tiba saja ide itu muncul. Mungkin karena aku ini laki-laki.  Lho, kok larinya ke situ? 🙂 Ada hubungannya nggak? Ah, ada atau nggak aku lanjutkan saja tulisan ini.

Perempuan. Makhluk Tuhan yang diwakili oleh kata perempuan itu memang menarik dibicarakan tidak hanya oleh para lelaki, tetapi juga oleh kaum perempuan (para aktivis feminisme) itu sendiri dan tentu dengan sudut pandang serta tujuan berbeda. Para perempuan itu berbicara mengenai dirinya dengan tujuan satu, yakni memperjuangkan persamaan hak. Sementara para lelaki berbicara mengenai perempuan dari sudut pandang mereka tentunya.

Setidaknya ada tiga stereotip di antara para lelaki ketika memandang perempuan. Apa itu? Pertama tentang wajahnya yang cantik apa nggak, kedua tentang tubuhnya itu bohai apa nggak, dan ketiga tentang statusnya sebagai single atau double. Itulah lelaki. Wahai para perempuan perhatikanlah mata kami para lelaki kalau sedang berpapasan denganmu!!! Pandangan pertama tertuju ke arah wajahmu dan berikutnya langsung mengarah ke bawah dan seterusnya (ngeres atau tidak terserah kamu menilainya). Kalau sudah dapat kesimpulan, melupakan atau menanyakan masih sendiri atau sudah ada “gandengan”nya. Itulah salah satu rahasia kami para lelaki (ya, nggak semua sih).

Lho, itu kan cara memandang; bukan sudut pandang. Cara memandang dan sudut pandang memang berbeda. Ya sudahlah, teruskan saja karena aku malas menghapusnya. 🙂

Itu tadi memang salah satu cara pandang lelaki ketika bertemu perempuan. Tapi, yang ingin aku bahas di sini bukan yang itu. Sudah pasti cara pandang yang lebih beradab yang ingin aku sebut sebagai sudut pandang, setidaknya sudut pandangku pribadi sebagai lelaki.

Perempuan itu makhluk yang kuat di balik kulit dan perilakunya yang halus. Coba bayangkan, apa yang dilakukan ketika seorang lelaki ditinggal sang istri selamanya dan seorang perempuan yang kehilangan suaminya menghadap Tuhan atau keduanya menjadi sendiri lagi karena perceraian? Seorang lelaki hanya menghadapi satu pilihan, mencari ibu baru buat anak-anaknya. Mengapa begitu? Lelaki merasa nggak sanggup bekerja sambil mengurusi segala kebutuhan harian anak-anaknya sementara dia harus bekerja seharian pula di luar rumah. Yang dia butuhkan adalah seorang perempuan untuk menjadi pengganti ibu anak-anaknya. Sementara perempuan yang menjanda karena kematian suaminya (tidak jarang juga karena perceraian) akan dihadapkan pada dua pilihan, mencari pengganti alamarhum atau mantan suami dan pilihan untuk menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya.

Baiklah, pembicaraan tentang lelaki cukup sekian dulu karena nggak menarik dan dia sudah menikah lagi. 🙂 Sekarang kita beralih ke para perempuan. Banyak perempuan yang tetap menyendiri setelah ditinggal suami mereka. Mereka memilih untuk sendirian mengawal anak-anak yang dicintai sampai dewasa dan sukses. Masih ingat tayangan Kick Andy Show pada tanggal 04 Juni 2010 lalu? Kalau sudah lupa dan barangkali tidak sempat menontonnya, edisi itu mengangkat tema “Semua Demi Anakku”. Dalam episode hari itu, diwawancarai beberapa ibu dari berbagai daerah yang memilih hidup sendiri dan memutuskan menjadi orang-tua tunggal. Singkat kata, semua ibu yang dihadirkan sebagai bintang tamu dalam episode itu membesarkan anak-anak mereka tanpa didampingi suami. (Baca kisah mereka dengan ngeklik: “Semua Demi Anakku”) Mereka bertindak sebagai ibu yang lembut (baca: gemulai) dan sekaligus sebagai ayah yang mencari nafkah, yang melindungi mereka. Mereka menjalankan dua peran jender, sebagai perempuan dengan segala kodratnya dan sebagai lelaki yang harus tampil tegas dalam membimbing anak-anak mereka. Gagah.

Lalu bagaimana dengan ibu-ibu yang masih bersuami? Tentu. Aku tidak pernah memandang mereka sebagai perempuan “konco winking“, teman di belakang alias dapur. Pepatah Jawa yang sudah waktunya direduksi. Banyak perempuan yang menjalankan tiga fungsi sekaligus dalam keluarganya, sebagai istri, sebagai ibu, dan sebagai salah satu tulang punggung ekonomi keluarga. Betapa beratnya tugas dan kewajiban ibu-ibu ini. Mereka ini setiap hari mengurusi suami, anak, dan belum lagi pekerjaan di kantor mereka masing-masing. Mereka di rumah manis kepada suami dan lembut kepada anak-anaknya, sementara di kantor dia harus bekerja seharian seperti layaknya lelaki-lelaki di kantornya dengan beban kerja dan tanggung jawab sama. Bahkan ibuku yang seorang bidan desa, tidak kenal waktu untuk menolong pasien-pasiennya. Tengah malam dibangunkan orang untuk menolong persalinan seorang ibu yang tidak jarang sampai paginya baru pulang dan langsung bekerja lagi. Gagah.

Kami ibu rumah tangga bagaimana? Tenang ibu-ibu. Bagi sebagian orang menjadi ibu rumah tangga itu “profesi” sepele karena berada di wilayah domestik. Aku dulu berpikiran begitu. Ternyata tidak. Ketika menginap di rumah kakak tertua yang memilih menjadi ibu rumah tangga meskipun dia mengenyam bangku kuliah, aku diam-diam memperhatikan kegiatan kakak perempuanku itu selama seharian. Pagi menjelang subuh bangun tidur kemudian menunaikan sholat itu. Setelahnya memasak air. Berikutnya langsung ke luar rumah bergabung dengan ibu-ibu lain di kompleks perumahannya mengerumuni Mas Tukang Sayur yang sudah mangkal di perempatan blok kakakku itu. Pulang belanja langsung menyiapkan sarapan buat anak-anak dan suaminya (dan tentu aku adiknya). Sementara kami sarapan dia memeriksa perlengkapan sekolah anak-anaknya satu-satu dan menyiapkan pakaian kakak iparku karena kebetulan waktu itu pas giliran masuk pagi (kakak iparku ini bekerja di laboratorium sebuah perusahaan pupuk). Sudah beres semua, pekerjaan yang menanti adalah beres-beres rumah dilanjutkan mencuci baju atau strika. Menjelang siang, disambung menyiapkan makan siang. Sampai di situ sudah ada waktu luang. Setelah anak-anaknya pulang sekolah dan beres soal makanan serta ngomel-ngomel menyuruh mereka sholat duhur, kakakku tidur sebentar karena nggak lama kemudian waktu ashar. Bangun tidur, mandi, sholat, dandan dan dia bilang ada rapat Aisyiah (salah satu organisasi bagian dari Muhammadiyah) karena kakakku itu ketua Ranting di kompleksnya. Begitulah sampai selesai makan malam, beres-beres, nonton sinetron favoritnya dan tidur. Paginya rutinitas yang menguras tenaga itu bersiklus kembali. Capek? Tentu saja. Tapi, aku lihat kakak perempuanku itu menikmatinya dengan senyum dan masih sempat berhiburan dengan televisi serta masih beroganisasi sosial. Aku rasa banyak ibu-ibu rumah tangga lain yang seperti kakakku itu. Gagah.

Bagaimana dengan perempuan-perempuan lain yang berada di luar negeri mengais nafkah? Atau, para buruh pabrik yang tenaganya dieksploitasi dan keringatnya dikuras habis-habisan. Mereka juga perempuan-perempuan yang kuat. Suami diam di rumah menikmati kiriman, sementara dia berada di luar negeri bercucuran peluh dan tidak jarang berurai air mata. Atau, para perempuan pekerja pabrik yang bekerja di luar batas jam kerja untuk lembur karena UMR tidak mencukupi kalau tidak lembur. Tidak berbeda dengan mereka adalah ibu-ibu tukang panggul di Jogja, mbok-mbok dan mbak-mbak jamu yang jalan kaki berkilo-kilo meter, para pembantu rumah tangga, atau para perempuan Bali dan Lombok yang bekerja sebagai kuli bangunan layaknya lelaki. Mereka semua berjuang demi keluarga, demi anak, atau demi orang tua. Gagah.

Demikianlah, aku bersudut pandang soal perempuan kali ini. Perempuan yang ditakdirkan lemah lembut, tetapi pada saat bersamaan dia bisa berperan sebagai lelaki dalam menjalankan tugasnya sebagai pengganti suami yang tiada atau dalam menjalankan tugasnya sebagi pendamping suami dalam mencari nafkah. Atau, perempuan-peremuan lain yang memilih sebagai ibu rumah tangga. Di samping itu, ada jutaan perempuan lain yang memberdayakan diri mereka demi keluarga, anak, atau orang tua. Mereka itu semua bisa berperan gemulai sekaligus bersikap gagah. Tidak salah kan kalau perempuan-perempuan yang tidak biasa itu aku sebut sebagai PEREMPUAN “GAGAH” GEMULAI.

Lalu, bagaimana dengan nyonya-nyonya yang kerjanya hanya ke salon, ngrumpi dalam kelompok sosialita mereka? Ah, biarkan saja mereka. Anggap saja mereka nggak ada. Eh, jangan dong. Bagaimanapun mereka juga itu bagian dari kaum perempuan yang mesti dihormati. Siapa tahu mereka masih sempat mengontrol urusan rumah dan anak-anak mereka melalui HP atau internet dari BB mereka. Siapa tahu juga mereka masih beritikad meredam keinginan para suami mereka untuk berbuat korupsi kalau misalnya kebetulan suami mereka jadi pejabat. Siapa tahu kan masih ada yang GAGAH di kelompok ini.

45 tanggapan untuk “(bukan) Perempuan (biasa) Itu Makhluk yang “Gagah” Gemulai

  1. bisa jadi perempuan yang sering ke salon, ngerumpi tu juga gagah lho pak.. apa yang di dalam dan bagaimana keseharian mereka yang sesungguhnya kan kita blom lihat.. 😉

    Suka

  2. saya perempuan, say pun ingin menjadi bagian yang “GAGAH” gemulai itu kelak..
    apalagi kalo misalnya jadi seorang EMAK.. saya pun bertanggung jawab untuk mendidik anak saya, supaya jangan jadi “PREMAN” kayak emak-nya ini…*ngawurrr ikk*

    Anyway, salam kenal… [panjang yah!!]

    Suka

  3. Perempuan adalah seonggok makhluk “gagah” gemulai, keren Pak itu kosa-kata baru.
    Kekaguman itu wajar Pak, karena kita melihat dari sudut pandang yang berbeda-beda. Tapi sebelum kagum, setidaknya kita melihat sesuatu berdasarkan kondisi yang melingkupinya, bukankah setiap aktivitas selalu ada sebabnya dan sebab juga disebabkan oleh sebab yang lain, dan seterusnya. Maksudnya, saya tidak menghendaki kalau kekaguman kita terhadap sesuatu nampak dogmatis.

    Suka

  4. opa….sedih saya bacanya…
    jadi ingat mama di rumah…
    ibu ku adalah pahlawanku…
    ibu ku adalah segalanya bagiku..
    (*jdi pengen telepon kerumah terus bilang..i love you mom…

    Suka

      1. IMHO, kalau ditulis oleh perempuan rasanya seperti “pembelaan”, sementara jika lain gender yang menulis rasanya seperti “dibela”. Halah :lol:. Hanya perasaan saya saja mungkin 😀

        Suka

  5. dari dulu saya selalu terkesan dengan para ibu rumah tangga. mereka sebenarnya jantung kehidupan dalam suatu keluarga. makanya, jika seorang bapak ditinggalkan ibu (karena perceraian atau kematian), bapak langsung cari pengganti.
    lantas bapak itu bisa diibaratkan apa, ya? kok sepertinya perannya bisa digantikan ibu? apakah tepat mengibaratkan peran bapak dengan kuku? hehe ….

    Suka

  6. Wah luar biasa ceritanya sobat…
    Mengambil makna yang terdalam dari kehidupan seorang perempuan, kalo membicarakan perempuan, tak habis waktu dibuatnya….

    Suka

  7. Perempuan…. perempuan… oke dech… dapet inspirasi neh Qta . . . !!! bentar bos, ntar balik lagi Qta…. thaanks bangad atas inspirasi judulnya…. Q da corat-coret cuma bingung mau ngasih judul apa yang ngepas, maen kesini eh nemu . . .. sooooo… sip sip sip “PEREMPUAN”

    Suka

  8. Ngopiii Om… ayooo mana post barunya lagi ??? mati ide yaaa . . .. hehehehe … nyari judul ??? heeeem Q kasih tantangan dech . . . gimana kalo Q yang kasih judul Om yang Narasiin lewat tulisan . . . ok . .. berani . . berani ???

    Judulnya ____CASSANOVA____

    Suka

  9. @ Standardisasi: Terima kasih ya… Dah mau membaca uneg-unegku 🙂
    @ Ully yang sekarang sudah “gagah”, mudah2an cita2 menjadi gemulai segera terwujud 🙂
    @ mylitleusagi: jangan sampai menangis dong… aku ga tahan liat orang nangis. Salam buat mama ya 🙂
    @ Mizzy dan @ Julianusginting: Rasanya kayak apa ya? Tuh dah dijawab ndiri sama mizzy.
    Buat kalian berdua makasih dah mampir 🙂
    @ Rumah Dzaky: Buaknnya peran bapak selalu sama, tapi pendampingnya aja yang seperti kuku, ganti-ganti warna malah bisa pakai kuku yang ekstensi 😀
    @ Rosydi Hamzah: Aha’o, sob? Kapan2 ngobrol soal perempuan yuk! 😀
    @ bieogravie: Wah, abie nantang omnya 😀 boleh..boleh… nanti dicari referensinya dulu 🙂
    @ Fabiantactlest: Komennya bikin topiku nggak muat 😀
    @ Farug dan @ liputanedukasi: Terima kasih dah mampir. Ibu, ibu, ibu, dan ibumu. Disebut 4x, lho. 🙂

    Buat semua Terima kasih atas apresiasinya. Yang belum masuk link-ku, BOLEH AKU LINK, YA?
    (Jawab sendiri) Boleh, Pak, silakan 😀

    Suka

  10. beginilah seharusnya memandang perempuan… yng kehadirannya amat sangat penting bagi dunia…. penghormatan seluruhya buat mereka..

    tp…. ada tapinya ni bang…

    postinganen duowo tenan e… hahahahah SIIIP…

    salam,
    hendro ds

    Suka

  11. yg paling diingat soal perempuan adalah, ibuku.
    pernah beliau sedang nonton sinetron, kemudian channel aku alihkan ke konser Michael Jackson (karena sy penggemar berat dia). Beliau tidak protes, marah atau ngomel, malah (mungkin pura2) menikmati juga, ngomentarin juga.
    bayangkan, beliau mungkin baru juga lihat si MJ ini, gak begitu ngerti juga musik dan tariannya, tapi demi anaknya dia rela aja meninggalkan kesukaannya malah dengan bumbu2 sebagai komentator juga.. 😀
    love you Mah..

    Suka

  12. kunjungan balik bos. Perempuan dan laki-laki, yin dan yang, yang satu dari venus yang lain dari mars. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya dan cara bertahan hidup yang berlainan.
    Blognya saya link, boleh kan?
    salam, misscomplaint.wordpress.com

    Suka

  13. @ Cecep & Rahmatulloh: Betul sekali apa yang kalian katakan 🙂
    @ booksaddict: teruslah addict dengan buku. Semua manusia punya kekurangan memang. Tapi, laki-laki dan perempuan punya prototipe sikap dan watak yang berbeda. Boleh, saling ngelink ya 🙂

    Suka

  14. ya smua itu memang benar. mgkin jika dilihat sesaat tampak lebih kuat seorang laki-laki, bertubuh kekar, besar, dan gagah. namun kenyataannya, saat dirumah tidak ada seorang perempuan (istri) rumah akan tampak berantakan. karena saat pulang kerja seorang laki-laki lebih memilih untuk istirahat daripada membereskan rumah. perempuan memang kuat, walau dia bekerja diluar mencari nafkah dia tetap melakukan kewajiban dan haknya sebagai istri 🙂 🙂

    Suka

  15. judul yang keren! bagus pak… =D banyak nggak ya pak para laki-laki yang punya pendapat kayak bapak? hehe… 😀 maju terus pak! 🙂

    Suka

    1. Tentu banyak. Jumlah lelaki di dunia kan banyak. Kemungkinan adanya lelaki yang sepikiran tentu besar pula. Terima kasih apresiasinya. OK, siap matu terus. 🙂

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.