Nyongkolan

Nyongkolan, kata yang dipilih sebagai judul tulisan ini, adalah salah satu kosa kata dalam bahasa Sasak, bahasa yang dipakai oleh suku Sasak. Suku Sasak tidak lain merupakan penduduk asli Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.  Istilah nyongkolan itu mewakili kegiatan yang berupa prosesi pengiringan sepasang pengantin dalam rangkaian acara merarik atau dalam bahasa Indonesianya sama dengan ‘menikah’.

Menikah yang disebut dengan merarik dalam budaya suku Sasak di Pulau Lombok memiliki tradisi berbeda dengan suku-suku lain di Nusantara. Sedikit menyimpang dengan topik, hal itu sama dengan tradisi pinang-meminang di kalangan orang-orang minangkabau yang juga sedikit berbeda. Perlu diketahui juga di Lamongan, Jawa Timur, juga memiliki tradisi perempuan melamar laki-laki (mungkin seiring kemajuan jaman, yang di Minangkabau an Lamongan mungkin sudah mengalami pergeseran. Kembali lagi ke topik. Perbedaan prosesi itu terletak pada acara melamar, terutama. Kalau sebagai patokan adalah mayarakat Jawa yang memiliki serangkaian acara dari meminang sampai kepada pesta pernikahan, khusus mengenai melamar ini dalam tradisi masyarakat Sasak tidak berlaku. Pria Sasak tidak meminang calon istrinya, melainkan melarikan.

Melarikan calon istri (pacar) dilakukan atas kesepakatan pasangan tersebut dan tanpa sepengetahuan kedua orang si gadis yang akan dilarikan. Untuk lebih jelasnya silakan diklik kata merarik yang berwarna biru dalam paragraf di atas. Tradisi melarikan ini memiliki keunikan-keunikan juga. Ada beberapa kasus unik yang bisa bikin geli dan kasihan. Kawan saya yang seorang guru di daerah Lombok Tengah bercerita sebelum menikah sama istrinya yang sekarang, dia sudah dua kali berencana dan sepakat melarikan pacar-pacarnya sebelumnya, tetapi dua kali itu pula didahului pria lain. Lucu dan menyedihkan memang. Mungkin kasuistis ya, tapi ini benar-benar dialami kawan seangkatan saya dalam PRAJABNAS, pembekalan sebelum menjadi PNS penuh dari status CPNS. Lain lagi dengan adik kawan kantor yang menjelang seminggu resepsi pernikahannya dilarikan orang lain yana masih sepupunya, padahal uang seserahan sudah sebagian dibelanjakan cerita kawan kantor saya itu.  Mengapa bisa terjadi seperti itu, sampai saat ini saya juga masih terheran-heran (kesenjangan budaya kali ya). Tapi, kalau pembaca mempunyai kawan yang asli Lombok bisa ditanyakan mengapa hal itu bisa terjadi. Keunikan lainnya, melarikan yang seharusnya tanpa sepengetahuan orang tua atau keluarga ini terkadang malah pihak keluarga si gadis yang menyarankan untuk melarikan anaknya itu. Ini berlaku jika calon pengantin pria dari luar suku, misalnya pria Jawa. Kasus seperti ini dialami tetangga saya yang jadi guru di sebuah SMK di Kabupaten Sumbawa. Di tempat itulah dia ketemu gadis Lombok itu. Alasan keluarganya biar memenuhi syarat tradisi dan tidak jadi bahan omongan tetangga. Lucu bukan? Tapi, tetangga saya dari Jombang itu malah bikin repot kami kawan-kawannya karena tidak tahu harus berbuat apa.

Selama dibawa lari si gadis harus dititipkan kepada salah satu keluarga si perjaka. Dan, jangan dibayangkan dalam proses “pelarian” ini mereka bebas melakukan apa saja. Setelah sehari semalam, barulah pihak keluarga lelaki datang kepada keluarga perempuan untuk memberitahukan bahwa anak gadisnya sudah dilarikan berikut membicarakan kesepekatan uang seserahan dan tanggal pernikahan mereka. Menarik bukan?

Setelah tahap itu, barulah digelar acara pernikahan di gedung atau di rumah mempelai wanita. Iringan-iringan pengantin menuju tempat resepsi itulah yang disebut dengan nyongkolan.

Nyongkolan ini berjalan dari tempat yang dtentukan menuju rumah mempelai wanita. Apabila rumah keduanya berdekatan, iring-iringan pengantin ini akan berjalan dari rumah lelaki ke rumah pengantin wanita. Sementara itu, jika pengantin pria dari daerah yang agak jauh, misalnya lain desa, rombongan berkumpul di suatu tempat yang jaraknya biasanya 0,5 km-an dari tempat acara pernikahan melewati jalan raya. Dan sudah dapat dipastikan akan bikin macet. Jadi, kemacetan di Lombok terjadi karena ada nyongkolan. 🙂 Macet karena rombongan nyongkolan yang lumayan banyak dan berbaris memanjang juga disaksikan para penduduk di sekitar jalan yang dilewati. Biasanya kiri-kanan jalan yang dilewati dipadati penduduk yang ingin melihat rombongan pengantin itu. Selain itu, orang Sasak pada umumnya melakukan resepsi pernikahan pada hari Minggu. Pada bulan-bulan “musim” kawin itu bisa dijumpai paling sedikit 3 rombongan nyongkolan ini apabila kita sedang melakukan perjalanan yang lumayan jauh, misalnya dari Kota Mataram ke Lombok Timur, malah bisa lebih dari tiga dengan jarak kedua tempat itu yang sekitar 50 km-an. Di bawah ini akan dapat pembaca saksikan foto-foto acara nyongkolan dalam bentuk slide.

[rockyou id=158010415&w=426&h=320]

Dalam prosesi nyongkolan itu, mempelai wanita berjalan di depan didampingi teman-temannya diikuti mempelai pria di belakangnya juga didampingi kawan-kawannya. Barisan di belakangnya adalah rombongan pengiring pengantin. Pada barisan paling belakang ikut mengiringi pengantin itu sekelompok pemain musik tradisonal yang disebut Grup Kecimol. Kesenian musik tradisional kecimol yang asli menggunakan seperangkat alat musik gamelan, seruling tradisional Lombok, dan gendang. Tetapi, perkembangannya belakangan menggunakan alat-alat musik modern, seperti drum, serta diiringi lagu-lagu daerah Sasak melalui seperangkat sound system yang dibawa dengan kereta dorong atau mobil bak terbuka. Dalam slide di atas kelompok musik yang ikut mengiringi rombongan pengantin dan pengiringnya merupakan jenis yang sudah mengalami sentuhan modern. Untuk rombongan pengantin yang berstatus sosial tinggi, seperti bangsawan yang bergelar Lalu (gelar bangsawan pria) dan Baiq (gelar bangsawan wanita), grup musik yang mengiringi disebut dengan Gendang Beleq (gendang besar). Gambar gendang beleq dapat pembaca lihat di bawah ini.

Gendang Beleq
Gendang Beleq

Gendang beleq bentuknya seperti dalam foto di atas yang diambil dari salah pementasan Tari Sendang Beleq di panggung. Sementara itu, gendang beleq yang mengiringi nyongkolan itu ditambah dengan seperangkat gamelan dan seruling.

Prosesi nyongkolan sekarang-sekarang pun malahan semakin mengalami inovasi, terutama dalam hal musik yang mengiringi di bagian belakang rombongan barisan nyongkolan itu. Tadi sudah diceritakan musik tradisional sudah mulai tergeser oleh alat-alat yang lebih modern seperti yang dapat dilihat di slide foto di atas plus musik yang diputar keras dari seperangkat sound system. Pernah juga saya temui rombongan nyongkolan yang grum musik yang mengiringi di belakangnya bukan Kecimol atau Gendang Beleq, tetapi grup drum band anak-anak sekolah dasar atau madrasah mirip karnaval ketika merayakan agustusan (baca: kemerdekaan RI).  Unik, menarik, dan lucu, tetapi, sayang waktu itu tidak sempat difoto dan kalau teman-teman atau pembaca ke Lombok bisa dilihat sendiri. (wah jauh juga kalau ingin membuktikan pernyataan yang ada di paragraf ini :))

Itulah sekelumit cerita tentang tradisi nyongkolan. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Sasak, penduduk asli Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Apabila ada informasi yang kurang dalam tulisan di atas semua yang sempat membaca ini bebas mengisi kekurangannya di ruang komentar.

O iya, di bawah ini contoh video nyongkolan yang diceritakan di paragraf-paragraf di atas. Setelah mencoba-coba berkali-kali, akhirnya bisa juga menyisipkannya di kiriman kali ini. Sengaja ditampilkan di bagian bawah karena kalau diletakkan di tengah naskah akan mengganggu yang ingin meneruskan baca teks topik ini.

Maaf, gambarnya kurang jelas karena diambil dari kamera HP. Kalau tadi dibilang bahwa nyongkolan bisa bikin macet jalanan yang dilaluinya, dalam tayangan video itu tidak tampak karena rombongan nyongkolan itu melewati daerah persawahan yang di kanan-kanan kirinya rumah penduduk hanya satu-dua. Sementara rombongan pengantin itu menuju ke kampung yang lumayan jauh dari tempat pengambilan gambar.

16 tanggapan untuk “Nyongkolan

  1. jadi kecil ati nich pak !
    ga banyak tahu tentang bangsa ini !
    katanya kaya kok saya ga tahu ?
    waktu apa sampean bisa nympe di sini ?
    pengalaman yang menyenangkan!

    Suka

  2. weleh, mantep jo. tapi kalau saya lebih suka “nyongkolan” di warung kopi..he hhhehh. kayaknya sreg juga dipake istilah itu, jo. preketek!

    Suka

  3. wah bagaimana jadinya bila melarikan anak perempuan tanpa kesepakatan dgn anak perempuan tsb, juga termasuk tanpa kesepakatan dgn orang tuanya! Ha3…jadi penculikan dong. Terima kasih sharingnya!
    Salam…

    Suka

    1. Sepertinya di Lombok melarikan pacar pasti dengan kesepakatan, termasuk menentukan tanggal mereka akan “lari”. Menurut orang Lombok, melarikan juga harus dari rumah si gadis; bukan nyegat di jalan terus dibawa kabur :). Kalau seperti itu bisa-bisa malah jadi perang antar keluarga bahkan kampung.

      Suka

  4. indonesia..
    rentangkan sayap – sayap budayamu..
    terbanglah bersama pengagum2 mu..
    hingga kami pun bisa menjemputmu..
    dan rasa kan kaya nya kami sebagai penduduk negeri ini…
    karna tlah milikimu..

    hidup budaya indonesia…

    abang mochammad ok…!!! 🙂

    Suka

  5. Ane baru ngerti ternyata ada adat seperti itu…
    he he he menarik sekali untuk diikuti jalan ceritanya…

    Jadi inget cerita-cerita jaman dulu…

    Suka

  6. Salam dari singapore
    saya sedang bikin kajian tentang Pernikahan di indonesia dan besar kemungkinan kalau semua berjalan lancar saya akan shooting di sana dan kemungkinan juga anda menjadi codinator disana. Saya ingin batuan reseach tentang keunikkan pernikahan suku kaum Bali, Sasak dan Bugis. Bisa anda menolong saya?
    Maaf anda ada contact sahabat yang tahu tentang adat pernikahan Bali, Sasak dan Bugis?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.