“Modus Operandi” Baru Mengemis

Tulisan ini terinspirasi oleh komentar teman saya di kiriman yang bertajuk “Bik Sarah” yang masih belum disambung lagi ceritanya :). Dalam komentarnya itu dia menyebut kata atau tepatnya kelompok kata modus operandi. Saya jadi tergelitik untuk menuliskan pengalaman, baik yang saya alami sendiri maupun cerita pengalaman beberapa kawan saya, yang berkaitan dengan kelompok kata itu. Lalu, apa hubungan modus operanadi dengan mengemis?

Baiklah, pembaca. Sebelum kelompok kata itu dibicarakan panjang lebar, ada baiknya saya mengingatkan lagi pengertian modus operandi ini. Modus operandi dapat juga dikatakan dengan modus operasi.  Kelompok kata itu bermakna ‘cara atau teknik yang berciri khusus dari seseorang penjahat dalam melakukan perbuatan jahatnya’ (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:925). Menilik uarain makna yang ada dalam kamus paling resmi bahasa Indonesia itu, kelompok kata modus operandi jelas berhubungan dengan operasi kejahatan. Tapi, dalam tulisan ini kelompok kata itu dipakai dalam kaitan dengan dunia perngemisan. Dalam pada itu saya tidak hendak mengatakan mengemis itu termasuk dalam perbuatan kejahatan. Penggunaan kelompok kata modus operandi ini hanya sebagai analogi untuk cara atau teknik seseorang dalam meminta-minta (dalam bahasa Indonesia kata meminta-meminta itu dapat diartikan dengan mengemis selain bermakna ‘meminta berulang-ulang’).

Apa yang saya bilang modus operandi baru itu memang menjadi salah satu cara orang untuk meminta belas kasihan orang lain. Kalau sampai tertuang ide demikian dalam tulisan ini, itu karena saya tidak hanya satu kali mengalaminya. Terakhir saya alami sekitar seminggu lalu ketika sedang menunggu bus yang akan saya tumpangi ke Depok dari Jalan Jendral Sudirman, Jakarta. Waktu itu saya duduk di halte di bawah jembatan penyeberangan yang melintangi jalan protokol itu di seberang Ratu Plasa. Di samping saya duduk seorang ibu yang menilik dari penampilannya pasti tidak ada yang menduga kalau ibu itu “profesi”nya sebagai peminta-minta.

“Dari sini ada bus yang ke Fatmawati, Dik?” tanyanya membuka percakapan.

“Sepertinya ada, Buk”, jawab saya ragu karena nggak hapal rute-rute ke mana saja bus kota yang lewat situ.

“Saya tadi jalan kaki dari Semanggi”, sambungnya dan saya belum ngeh arah pembicaraannya.

“Oh..”, tanggapan saya hanya itu, “Bus yang ke Lebak Bulus mungkin lewat Fatmawati, Buk”, sambung saya mulai ada simpati.

Perlu saya beritahukan di sini bahwa ibu itu cerita tidak dengan nada gusar atau tidak terlihat kebingungan. Waktu dia cerita telah jalan kaki dari arah Semanggi saya juga menanggapi biasa-biasa. Jalan dari tempat yang dikatakan ibu tadi ke bilangan Ratu Plasa kerap saya lakukan juga kalau mau pergi ke Gedung Kementerian Pendidikan Nasional atau kalau mau ke Dikti. Tapi, percakapan berikutnya baru membuat saya ngerti arah pembicaraannya.

“Saya baru kecopetan”, katanya, “Ini tas saya disilet”, katanya lagi.

Mau nggak mau mata saya pun mengikuti gerakannya yang menunjukkan bagian tas dia yang memang terlihat seperti habis disilet pencopet. Modus operandi seperti itu biasa dilakukan para pencopet di bus kota atau kereta listrik (KRL). Tapi, pembaca. Meskipun hanya sekilas, saya tahu robekan tas ibu itu nggak nampak seperti baru disayat. Itu seperti goresan yang sudah lama.

“Ah, lagu lama”, kata saya dalam hati.

Saya diam. Ibu itu pun diam. Mungkin diamnya ibu itu sambil mikir apakah orang ini berbelas kasihan dan mengeluarkan uang buat ngasih dia ongkos yang dia bilang tadi mau ke Fatmawati. Saya diam karena bimbang. Bimbang mau ngasih apa nggak ya. Akhirnya saya pun memutuskan untuk nggak ngasih dengan berbagai pertimbangan. Pertama, saya pikir ibu tadi nipu karena tas yang dia bilang baru disilet itu tidak nampak baru terjadi, tapi sayatan yang sudah lama. Kedua, ibu itu cerita kemalangannya dengan ekspresi yang datar-datar saja. Mungkin dia perlu belajar seni peran kepada Didi Petet biar bisa meyakinkan orang. Karena saya diam, ibu itu pun akhirnya berdiri dan berlalu dari halte tempat kami duduk.

Itu pengalaman terakhir yang cukup aktual karena terjadi sekitar seminggu lalu. Peristiwa sebelumnya terjadi sudah lumayan lama, tapi tidak terlupakan. Waktu itu saya sedang jalan dari arah kampus Fisip menuju ke Stasiun UI. Nah, di jalan konblok yang membelah hutan depan stasiun KRL itu saya berpapasan, lebih tepatnya dicegat, seorang ibu yang berpakaian bersih dan mengenakan jilbab. Selain itu, ibu ini juga berpayung untuk melindungi dirinya dari terik matahari.

“Dik, kalau dari sini ke RSCM naik apa ya”, tanyanya setelah dia berhasil menghentikan langkah saya.

“Lho, Ibu, RSCM masih jauh banget dari sini”, jawab saya.

“Iya, Dik, saya tadi sudah muter-muter. Saya mau jenguk keluarga yang dirawat di sana”, katanya.

Saya pun langsung iba. Betapa tidak, ibu itu berbicara sambil matanya mengeluarkan air mata, menangis. Dia pun mulai berbicara hal-hal yang sebetulnya nggak perlu juga buat diceritakan ke saya.

“Ibu, kalau mau ke RSCM, Ibu bisa naik kereta arah Stasiun Kota. Nanti turun di Cikini dan dari situ naik kopaja atau naik ojek ke rumah sakit itu”, saya jelaskan panjang lebar arah menuju ke RSCM yang paling gampang dan cepat menurut saya. Tapi, ibu celingak-celinguk seperti bingung. Beberapa saat kemudian dia mulai berbicara lagi.

“Tapi… tapi… duit saya kurang”, katanya masih terisak, “Adik punya uang buat nambahin ongkos ke sana”, sambungnya.

Saya pun mengeluarkan dompet dan mengeluarkan selembar 10 ribuan. Setelah saya bilang mungkin uang itu cukup buat naik kereta ekonomi dan ongkos kopaja, dia pun pamit dan berjalan menuju stasiun. Ketika itu saya nggak punya pikiran negatif atau gimana.

Nah, suatu siang beberapa minggu setelah bertemu ibu itu, saya melihat dia turun dari mikrolet di Kober, Margonda. Saya perhatikan ibu itu yang memang masih saya kenali. Dia turun dari angkot, mengeluarkan payung dari tasnya, kemudian dia buka payung itu, dan berjalan masuk Gang Sawo ke arah Stasiun UI. Saya masih hanya berpikir mungkin keluarga ibu itu masih dirawat di RSCM dan dia mau besuk ke sana naik kereta. Tapi, pembaca. Seminggu kemudian saya lihat ibu itu di daerah Kober yang arah ke Terminal Depok, di seberang gang tempat mahasiwa jalan menuju ke kampus.

Kebetulan saat itu saya sedang beli rokok di kios tak jauh dari ibu itu berdiri dengan payungnya. Saya jadi tertarik memperhatikan gerak-geriknya karena berkali-kali saya menemui dia. Dari kios rokok itu saya perhatikan dia selalu mondar-mandir dan mencegat setiap orang, rata-rata mahasiswa atau mahasiswi, yang melintas di dekatnya. Sekali dua kali mahasiwa yang dia cegat bicara sebentar kemudian berlalu. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang saya perhatikan dari tingkah laku ibu itu, dia selalu mencegat mahasiswa atau mahasiswi yang sedang berjalan sendirian. Kebetulan sekali ada salah satu orang yang dicegat ibu itu mampir ke kios rokok tempat saya duduk untuk beli minuman. Karena penasaran apa yang dibicarakan ibu itu, saya pun bertanya kepada mahasiswa ini. Ternyata, pembaca. Apa yang dibicarakan ibu itu sama persis dengan yang dia tanyakan waktu mencegat saya di dalam areal kampus. Dia masih nanya arah ke RSCM dan blabla… cerita sedihnya.

Saya langsung ingat peristiwa yang saya alami dengan dia beberapa minggu sebelumnya. Rupanya itu cara dia untuk meminta-minta kepada setiap orang yang dijumpainya. Saya nggak pernah menduga karena penampilannya seperti orang yang mau bepergian. Pakai baju rapi, berkerudung, dan berpayung untuk melindunginya dari terik matahari. Entah dari mana ibu itu. Yang jelas dia menjadikan areal sekitar UI sebagai daerah “operasi”nya. Sebetulnya ada pengalaman serupa lain lagi yang saya alami, tapi akan kepanjangan tulisan saya ini kalau yang itu juga diceritakan.

Apa kesimpulan dari pengalaman ini? Pertama, orang meminta-meminta sekarang menggunakan berbagai cara. Ada yang dengan sengaja menjadi pengemis dan yang seperti ini banyak juga di kampus dan areal sekitarnya. Lalu, ada juga yang menggunakan modus seperti ibu pertama dan kedua yang saya ceritakan di atas. Pura-pura mau pergi ke suatu tempat dan uangnya tidak ada. Kedua, orang-orang yang seperti saya ceritakan itu berpenampilan seolah mau bepergian. Dengan pakaian seperti itu, tidak dapat diduga kalau  sebenarnya mau meminta-minta kepada setiap orang yang dapat mereka kelabuhi.

Sejak itu saya jadi ragu kalau mau bersedekah kepada orang-orang yang “mengaku” mendapat kemalangan seperti itu. Ada perang batin mau ngasih atau cuekin saja. Terkadang saya juga iba dan ikhlas memberi uang dengan niat menolong. Saya pikir saya niat menolong karena saya ingin sedekah. Perkara dia menipu atau tidak, itu urusannya dengan Yang Di Atas. Bagaimana menurut pembaca kalau mengalami hal serupa?

21 tanggapan untuk ““Modus Operandi” Baru Mengemis

    1. Iya, betul, Di. Memang ada unsur penipuan secara tidak langsung. Mereka yang kuceritakan itu berniat meminta tapi dengan cerita bohong untuk mendapatkan belas kasihan orang. Sebetulnya sama dengan pengemis yang pura-pura nggak bisa jalan atau dengan luka-luka buatan. Atau, dapat juga dikatakan malak tapi dengan cara bohong, “menipu”.

      Suka

      1. mungkin dia terinspirasi dengan gaya sales berbagai product yg di iklankan di tv mas, whehehe…..agar jualannya laku biar pun nipu-nipu dikit gitu deh…
        mks mas sudah bikin tulisan yg apik2 punya untuk dibaca……(lg ngendon di RS iki mas, sejak sakit minggu lalu blm kelar juga ^_^)

        Suka

  1. wah makin banyak aja ya cara-cara mereka, sama juga sih pengalaman saya kayak gitu. tapi bapak-bapak yang kakinya di balut perban hampir seperti di gip, di operasi di perempatan pusat kota tapi di lihat2 dari dulu gak pernah sembuh-sembuh akhirnya besoknya saya males kasih lagi hehe.

    Suka

    1. Begitulah, Ne… Serba salah ya. Mau beramal tapi karena kita tahu bagaimana perangai orang yang ingin kita kasih, akhirnya nggak jadi. Kadang susah membedakan mereka itu bener-bener terpaksa harus meminta-minta atau memang sebagai profesi. Tapi, kadang akhirnya mikir wallahu’alam. Kalu mau nipu ya urusannya dengan yang di atas.

      Suka

  2. sangat memprihatinkan. padahal masih banyak pekerjaan lain yang halal. menjadi pengasuh anak misalnya.. tapi mereka mencari jalan pintas, meski mengesampingkan hati nurani dan harga diri.. , mugkin hasilnya lebih besar …

    Suka

  3. gmana akan hilang jika caranya ja makin lama makin berkembang seprti itu, lebih canggih utk dapetin yng lebih besar.. daripada hanya menjulurkan tangan seharian dijalanan..
    yah hanya doa perubahan yang dapat q haturkan.. smoga..

    Suka

  4. Kayaknya makin pinter menipu, ntar makin berat siksaanya deh…
    seperti halnya makin sukar jalan orang menuntut ilmu, maka akan semakin lekat ilmu itu pada dirinya… tapi koq ya ilmu menipu orang … hmm…..

    Suka

  5. @Bunda ummuaysyahumayro: Leskas sembuh biar cepat berkumpul dengan suami+anak-anak
    @Wiangga0409: yah begitulah, budaya instan dah demikian merasuk. Mungkin mereka pikir dengan begitu akan cepat mendapatkan uang.
    @kanvasmaya: Amin… Jumlah mereka semakin berkurang karena kesadaran pribadi mereka dan kesadaran orang-orang yang harusnya mengurusi kesejahteraan rakyatnya.
    @ahsanfile: begitu kali ya analoginya, semakin pinter menipu akan semakin berat amalan buruknya.

    Suka

  6. Ulasan ini menarik sekali Cak. Dari kata ‘modus operandi’ bisa ngocol panjang kali ya…he …he Hanya satu kata: Salut!

    Suka

  7. Tulisannya baguss banget Om.. entah apakah mereka yang terinspirasi ‘reality show’ yang menjual kemiskinan dan kemalangan itu, ataukah reality show yang mengangkat ‘modus operandi’ mereka ke televisi.. Kasihan yang betul2 miskin n malang kan Om.. jd dipukul rata.. 😦

    Suka

  8. Wah, Pak.. sepertinya modus operandi macam begini ga cuma di Jakarta.
    Sahabat saya juga pernah cerita pengalaman serupa, tepat saat dia hendak pulang kerja di daerah kampus UII terpadu.
    Hm, pengemis beranjak menjadi profesional sepertinya.. ck.ck.ck..
    Kira-kira apa lagi ya modus operandi lain yang bakal muncul? f(._.)

    Suka

  9. saya juga diceritain ibu saya pak, sama persis kayak kalimat2 terakhir itu. mau orang itu sebetulnya masih muda dan sehat, karena sebelumnya, kalau kupikir dia bisa bekerja, aku nggak kasih uang

    Suka

  10. Saya sering ingat pesan almarhum ayah..
    walau hati terdetik mengatakan sipeminta ini sedang menipu, kasikan saja..pasti dia punya alasan berbuat demikian…pasti dia sedang memerlukannya…
    kata ayah..andai dia menipu kita..itu antara dia dengan Tuhan..
    kalau kita memang punya, kasikan saja…

    apa pendapat mas Mochammad.. 🙂

    *Salam kenal ya mas…

    Suka

  11. wah gw pernah kena kyk gini di airport juanda surabaya dan kena 1jt bro.. coz tu monyet ngaku2 temen sekelas sama dosen saya…. berhubung gw di fk (feodalisme tinggi banget) jadi gw bantu dia buat minjemin uang tunai 1jt.. setelah tak tanyain dosen saya, ternyata beliau g kenal sama sekali..

    Suka

    1. Nasihat “Don’t talk to stranger” memang tepat sekali diterapkan saat-saat sekarang karena banyak modus penipuan dengan pura-pura kenal teman atau kerabat kita, sedaerah asal, dsb. Intinya, kalau ada orang yang tidak kita kenal terus sok akrab memang patut dicurigai. Semoga tidak terulang, Bro… 🙂

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.