Penjual Nasi Pecel, Kisahmu…

Di nJombang, kota kecil yang aman tentram damai, sarapan nasi pecel sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bagi masyarakatnya. Bagaimana tidak, pagi-pagi subuh sudah bisa dijumpai para bakul nasi pecel ini. Ada yang keliling dengan bakul atau sepeda dan ada juga yang sehari-harinya mangkal di suatu tempat. Bahasa kerennya sekarang apa, ya? O iya, para bakul pecel ini ada yang static dan ada yang mobile. Begitu kira-kira. Keren ya. Tapi, catatan ini nggak hendak membahas mereka itu static atau mobile. Ini kisah tentang seorang pedagang nasi pecel yang membuat saya terkagum-kagum. Kagum kepada bakul nasi pecel? Wow… Tentu dia perempuan, muda, dan cantik. Hush… bukan begitu. Ehm…. baca saja, deh, kelanjutannya… ๐Ÿ™‚

-oOo-

Tadi aku sudah cerita kalau kagum dengan penjual nasi pecel kan. Bukan kagum dalam arti karena parasnya yang cantik dan postur tubuhnya yang aduhai, lho. Ini kekaguman akan cara hidupnya. Kagum atas kesederhanaan, kerendahan hati, dan keuletannya.

Kenal dekat dengan ibu setegah baya penjual nasi pecel itu, sih, tidak. Kalaupun sampai terkesan dengan sebagian cara hidupnya dan sampai menimbulkan kekaguman, itu semata-mata aku dapatkan dari obrolan-obrolan singkat ketika aku beberapa kali mampir di “pangkalan” dia berdagang.

Pertemuan pertamaku dengan penjual pecel itu… Halah… kok, pertemuan, sih. Kayak mau ngedate aja :). Romantis bener dan kesannya sering ketemuan. Ya sudah, lanjut aja… Pertama mampir dan beli sarapan di tempat dia berdagangย  itu, ya, di suatu pagi ketika aku jalan dari Stasiun Kereta Api nJombang menuju rumah dan melawti tempat mangkalnya. Ya, waktu itu aku baru balik dari Jakarta dan KA Bangun Karta yang kutumpangi sampai di stasiun itu sekitar setelah subuh. Aku tertarik untuk beli sarapan di situ karena aku lihat banyak orang berkerumun ngantri dibungkusin nasi pecel, tentunya dah lapar juga. “Nasi pecel itu tentu enak”, pikirku. Sengaja menunggu pembeli-pembeli lain pergi karena memang aku datang belakangan.

“Ngersakaken nopo, Mas?” sapanya dalam bahasa Jawa halus. Terjemahan bebasnya ‘Mas mau sarapan?’. Kurang-lebih begitulah…

“Nasi pecel, Bu”, jawabku pakai bahasa Indonesia.

Bukannya sok karena mentang-mentang baru datang dari Jakarta, di kampung sendiri nggak mau pakai bahasa Jawa. Bukan itu masksudnya. Aku memang sengaja karena tidak bisa bahasa Jawa halus kalau diterusin dialog dengan bahasa daerah itu. Bagaimanapun ibu penjual pecel itu jauh di atasku usianya. Rupanya ibu itu paham dan berikutnya dia pun berbahasa Indonesia.

“Lauknya apa, Mas”, tanya dia.

Karena yang aku lihat nggak banyak pilihan, langsung kusebut lauk yang aku mau.

“Tempe sama dadar jagung, Bu”, jawabku sambil menunjuk dua lauk itu.

“Maaf ya, Mas, dadar jagungnya naik”, katanya sambil menyodorkan pincuk nasi pecelku, “Harga jagungnya lagi naik”, sambungnya.

Aku tidak menanggapinya karena snaik-naiknya pun pasti tidak akan menhabiskan isi dompet pikirku. Tapi, sambil makan aku tertarik juga pengen menanyakan berapa kenaikannya.

“Emang dadar jagungnya sekarang berapa harganya, Bu”, tanyaku.

“Biasanya seribu tiga, Mas, sekarang seribu dua, lima ratusan satu”, jawabnya sambil ngrapi-ngrapiin kulupan untuk pecelnya.

Alamak… Cuma segitu, toh, kenaikan harganya. Aku tersenyum dalam hati. Harga segitu mah ga masalah. Paling-paling harga semua yang aku makan ini tidak lebih dari lima ribu rupiah.

Aku diam mambil meneruskan makan. Aku berpikir jujur banget ya orang ini. Dagangannya naik sedikit saja disampaikan kepada pembelinya. Mungkin ibu penjual pecel itu berpikir mendingan diumumkan ke pembeli daripada diprotes atau diem-diem ditinggalin pelanggan. Kalau benar begitu, itu hanya alasan sederhana meskipun tentu tidak sampai segitunya.

Aku penasaran karena tadi dia bilang dadar jagungnya naik karena harga bahan dasarnya naik juga di pasar. Iseng-iseng aku tanya ke ibu itu. Sementara aku sebenarnya sudah selesai makan, tapi masih pengen ngrokok dulu.

“Kalau misalnya harga jagung dah turun, Bu, harga dadarnya turun juga”, pancingku.

“Iya, Mas. Jualan kan sesuai modal. Modal berapa nanti dijual berapa. Ada itung-itungane”, jawabnya spontan.

“Kalau harga turun, bilang juga ke pembeli nasi pecel, Ibu?” kukorek-korek lagi. Mumpung belum ada pembeli lain datang.

“Ya ndaklah, Mas, kalau hargane lebih murah, langganan kan diem saja”, jawabnya berseloroh. Aku tersenyum dan membenarkan omongannya. Bener juga, pembeli kan protes kalau harga lebih tinggi dari biasanya.

Hmm… JUJUR DALAM BERDAGANG. Itu kekagumanku yang pertama kepada ibu penjual pecel itu. Aku pun beranjak pulang setelah aku membayar nasi pecel yang sudah kumakan. Dan benar perkiraanku karena ternyata aku cukup membayar dengan harga tiga ribu rupiah. Murah ya…

-oOo-

Esok paginya aku datang lagi ke pangkalan tukang pecel yang kemarin. Aku balik lagi karena memang pecelnya enak dan murah. Pantesan setiap pagi dikerumuni banyak pelanggan. Kalau agak siangan ke tempat itu, pasti sudah habis.

“Sarapan, Mas?” sapanya begitu melihatku nongol di depan bakulnya. O iya, ibu itu cuman bawa bakul bukan gerobak.

“Ya, Bu. Sama kayak kemarin”, jawabku sambil duduk, jongkok tepatnya karena tidak ada tempat duduk atau tikar.

Tempat pangkalan ibu itu di emperan toko. Dia mangkal di situ sebelum toko buka dan sudah pulang ketika toko itu menjelang buka.

Singkat cerita, sedang makanlah aku ini. Sambil makan seperti kemarin-kemarin aku ngobrol sama ibu itu. Tapi, kali ini dia yang mengawali obrolan.

“Mulai minggu depan saya libur, Mas”, ibu penjual pecel itu membuka percakapan.

“Lho, liburan apaan, Bu”, tanyaku sambil menyeruput teh hangat.

“Minggu depan kan wes puasa, Mas” jawabnya, “Lho, Mase ini Eslam kan?” lanjutnya. Heheheh orang jawa kan kalau bilang Islam itu Eslam dan Kristen jadi Kresten.

“O iya, ya, minggu depan dah puasa”, selorohku tanpa menjawab pertanyaan tentang agama tadi. Aku pulang juga dalam rangka mau ngawali puasa di rumah.

“Libur sampe kapan, Bu”, tanyaku.

“Sampai abis kupatan, Mas”, timpalnya. Kupatan itu lebaran ketupat.

Hmm… libur selama sebulan lebih pikirku. Lama betul. Bukannya dia terus berdagang karena bulan puasa kan butuh biaya besar. Jadi penasaran lagi, deh, akhirnya. Mulai usil lagi nanya-nanya.

“Apa ndak diganti sore, Bu, jualannya?” selidikku.

“Ndak, Mas, sebelas bulan jualan kan dah cukup. Bulan puasa ya dibuat posoan, ngibadah. Abis lebaran cari rejeki lagi”, dia jawab panjang lebar dengan logat njombangannya.

Ya.. ya.. Aku bilang itu tapi cuma dalam hati. Aku diam saja sementara ibu penjual pecel itu sibuk bungkus-bungkusin pesanan orang rumah.

Sambil berjalan aku mikirin jawaban ibu tadi. Bukankah kebutuhan sehari-harinya di penuhi dari berdagang nasi pecel. Ini kok malah libur penuh di bulan puasa. Bulan puasa itu kan bulan yang membutuhkan pengeluaran ekstra. Tadi dalam obrolan kami, ibu tukang pecel itu sempat nyinggung-nyinggung tabungan. O aku tahu sekarang. Berarti tukang pecel itu menabung selama sebelas bulan dia berjualan pecel. Tabungannya itu tentu sudah diperhitungkannya untuk pos-pos pengeluaran selama bulan ramadhan dan tentu pula untuk modal pertama dia jualan setelah lebaran.

Hmmm… SURVIVAL dan RELIGIUS… Kekagumanku yang lain pun muncul.

Satu lagi pembelajaran hidup yang didapatkan di jalanan. Kali ini yang menjadi inspiratornya seorang ibu paroh baya yang berdagang nasi pecel di emperan sebuah toko. SEDERHANA, TEKUN, ULET, JUJUR, dan RELIGIUS. Itulah sikap hidup yang dijalankannya.

Glosari:

Dadar jagung kalau di Jakarta sepadan dengan bakwan jagung. Tapi, yang di nJombang lebih enak karena 95 % bahannya jagung dan aroma daun jeruk purutnya yang tambah bikin sedap.

Pincuk itu sama dengan piring, tapi terbuat dari daun pisang.

Kulupan itu sayur-sayuran rebus yang biasa dipakai untuk nasi pecel.

Wes itu sepadan dengan kata sudah.

8 tanggapan untuk “Penjual Nasi Pecel, Kisahmu…

    1. hehehe ketahuan deh. boleh kalau aku lagi di nJombang ๐Ÿ™‚
      emang tinggal di mana, Non?
      aku memang lahir di nJombang. setidaknya tinggal di sana sampai tamat SMA terus melanjutkan kuliah di kota lain kemudian bekerja di pulau lain. sekarang ada di ibukota buat lanjut studi. abis itu balik ke tempat kerja. ke Njombang kalo lebaran atau pas ada acara-acara dan sambang ortu.
      begitu ๐Ÿ™‚

      Suka

  1. Betapa Mulia Hati ibu itu ya mas.. ๐Ÿ™‚ aku sampe terharu membaca cerita nya. Di- Alun-Alun Jogja saya juga punya kenalan seorang Pedangang Ronde.. saya sering minum Ronde di tempat dia. pernah suatu malam saya menunggu seorang teman di lapak Ronde nya. . dia bertanya apakah saya ingin memesan semangkuk ronde. saya jawab nanti saja pak nunggu teman saya sekalian . tapi lama teman saya belum datang juga. tiba tiba bapak datang membawakan semangku Ronde , dia bilang ” ini tidak usah dibayar, Hadiah dari saya.. mungkin bisa menemani mas menunggu teman nya ”

    saya hanya terdiam . kagum . Berdagang tidak mengejar untung semata, tapi juga demi persahabatan dan kemanusiaan seperti ibu penjual pecel tadi. semoga kita bisa mempunyai hati seperti mereka..

    Suka

    1. Amin… Akan baik kalau mau berusaha menjadi orang baik, apa dan siapa pun kita sekarang.
      Begitulah, kadang kita sering merasa malu dengan orang yang oleh sebagian orang disebut “orang kecil”. Mungkin materi yang dia punya kecil, tapi hati mereka jangan ditanya. Orang-orang kayak bapak penjual ronde dan ibu pedagang nasi kecil itu menawarkan kebaikan tanpa ada pamrih. Patut dicotoh.

      Suka

  2. SEDERHANA, TEKUN, ULET, JUJUR, dan RELIGIUS. Itulah sikap hidup yang dijalankannya.
    Insya ALLAH, kita juga bisa menjadi sosok manusia sperti Ibu itu ya, Mas…
    AMIN……, ya ALLAH…

    Assalamu’alaikum..
    Kunjungan balik ini, Mas…..
    Mohon maaf sblonnya…
    Aku newbie di WP, Mas..
    Jadi rada lama kunjungannya baliknya…
    Masih ngeraba……… ๐Ÿ˜€

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.