“Bersih Diri” Ala Orde Baru untuk Para Koruptor dan Keluarganya

Hari Rabu, 19 Januari 2011, lalu melaui siaran langsung di salah satu stasiun televisi swasta ditayangkan kelanjutan sidang pengadilan atas kasus tindakan korupsi yang dilakukan Gayus dengan agenda pembacaan tuntutan. Vonis pun dijatuhkan kepada mantan (mungkin juga masih berstatus sebagai pegawai negeri di Kementerian Kuangan) pegawai Kantor Pajak itu. Hakim Ketua membacakan vonis atas Gayus Tambunan dengan hukuman penjara 7 tahun dan denda 300 juta rupiah. Adilkah putusan pengadilan itu? Dan, beberapa hari terakhir ini berita televisi diwarnai dengan liputan tentang tokoh yang diduga melakukan korupsi, yakni sepak terjang Djoko Susilo, salah satu pejabat POLRI. Sungguh mencengangkan mengetahui harta dan wanitanya. Ini CENGANG dalam konteks PRIHATIN tentunya. Lagi-lagi terbersit pertanyaan, apakah hukum akan berlaku adil terhadap kasus satu ini?

Ah, catatan ini tak hendak membicarakan persoalan adil atau tidaknya putusan itu. Bukankah kata adil kian menjadi sebuah sifat yang langka di lembaga yang memiliki nama dari istilah berkata dasar kata sifat itu? Kali ini aku berniat membicarakan betapa sebetulnya TINDAKAN KORUPSI itu sangat membahayakan masyarakat.

Sangat berbahaya karena tampaknya sudah mendarah daging di sebagian orang Indonesia. Ibaratnya tindakan korupsi itu dari kelas teri sampe kelas kakap atau bahkan kelas paus (pengen juga menganalogikannya menjadi kelas dinosaurus, tapi kok kayaknya ga nyambung ya hehehe).

Contoh kelas kakapnya ya macam Gayus dan orang-orang lain seperti dia. Mungkin si gayus ini bisa dibilang kelas paus juga. Nah, kalau kelas teri ini pernah aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Pemandangan seorang pegawai semacam office boy (OB) salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di universitas negeri tempat aku bekerja.

Waktu itu aku dan seorang kawan sedang makan siang di kantin D3 Ekonomi. Di tengah-tengah makan itu datanglah si OB tadi mengembalikan nota pembelian cendol. Wow, beli cendol pake nota dan diklaim di kantor pula. Heran? Aneh? Geli? Atau, muak? Pikirin sendiri, deh

Begini percakapan antara OB dan pemilik kantin. Masih terngiang-ngiang karena peristiwa itu sangat berkesan sehingga masuk di memori jangka panjangku.

“Bu De, bonnya salah”, kata si OB kepada pemilik kantin.

“Lho, salah gimana? Kan bener cendol 3”, jawab Bu De Kantin.

“Kata Pak X disuruh nulis 15”, si OB mengajukan pesanan orang yang nyuruh dia.

Begitulah percakapan yang aku dan kawanku dengar. Kami hanya saling pandang dan mengangkat bahu menyaksikan peristiwa itu. Dan kami tahu yang dimaksud Pak X itu bukan pejabat di UPT itu. Dia hanya staf biasa. Itu yang aku maksud dari “kelas teri”.

Bisa dibayangkan BAHAYA TINDAKAN KORUPSI tidak kalah dahsyat seperti BAHAYA LATEN KOMUNIS yang sangat dibenci di era Orde Baru. Korupsi itu sangat merugikan negara dan menyengsarakan rakyat. Menyengsarakan rakyat karena uang atau aset yang seharusnya untuk orang banyak dicuri oleh orang-orang yang justru tugasnya menyejahterakan rakyat. Sampa-sampai staf biasa yang tidak punya wewenang seperti Pak X itu ikut-ikutan korupsi dangan modus operandinya. Jadi, pelaku korupsi itu dari mulai staf sampai pejabat atau kepala sebuah lembaga. Parah betul!!

Kalau begitu, mestinya mulai sekarang KORUPSI sudah waktunya ditetapkan sebagai BAHAYA LATEN. Korupsi harus diberantas sampai ke akar-akarnya.

Upaya pemerintah untuk mengikis korupsi dengan cara seperti sekarang-sekarang ini tampaknya harus ditunggu sangat lama keberhasilannya. Entah tidak ada keseriusan atau kasusnya yang sudah teramat banyak hingga susah dicari ujung pangkalnya. Atau, barangkali moral para aparat hukum sudah terkikis.

Akhirnya, ketika sebagian besar lapisan masyarakat mulai hilang kepercayaan kepada lembaga hukum dan aparat yang seharusnya berkewajiban melaksanakan tugasnya dengan benar, munculllah reaksi-reaksi yang berupa usulan-usulan tentang cara-cara lain di luar hukum untuk memberantas korupsi.

Pernah ada usulan untuk memberlakukan hukuman mati untuk kasus-kasus korupsi. Tapi, wacana seperti itu sudah menguap entah kemana. Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah mengusulkan seragam khusus untuk tahanan kasus korupsi. Semua bertujuan memberi efek malu sampai ke efek jera. Namun, semua itu hanya tinggal sebaggai usulan yang yang tidak tertanggapi dan sekarang orang-orang mungkin sudah melupakannya. Yang terjadi, tahanan kasus korupsi malah enak-enakan di penjara dengan menyulap kamar tahanan menjadi kamar yang nyaman dan mewah, misalnya. Atau, kasus Gayus yang bisa keluar dari tahanan dan pergi ke Bali. Sungguh fakta yang membuat kita semua marah, kecewa, muak, bingung, dan sebagainya.

Menyaksikan tayangan sidang kasus Gayus kemarin, aku jadi teringat bagaimana Rezim Orde Baru memperlakukan para eks anggota PKI dan keluarganya. Pemerintah berkuasa waktu itu menerapkan aturan “bersih diri” dan “bersih lingkungan” bagi mereka (baca juga).

Aturan bersih diri itu berupa hukuman secara moral dan sosial kepada para eks anggota PKI dan keluarganya. Pegawai Pemerintah (PNS dan TNI/Polri) yang ketahuan pernah terlibat sebagai anggota partai itu langsung diberhentikan tanpa status jelas dan bahkan ada yang dipenjara tanpa proses peradilan. Lebih parah lagi anggota keluarganya pun di larang menjadi pegawai pemerintah atau BUMN. Akses mereka untuk mendapatkan pekerjaan di pemerintahan dan berbagai kesempatan berkarir di bidang lain benar-benar ditutup. Yang lebih parah lagi, di KTP mereka pun diberi tanda khusus untuk menjelaskan bahwa pemilik KTP adalah eks-PKI.

Barangkali cara yang ampuh untuk membuat para calon koruptor dan yang sudah terlanjur korupsi jadi jera dan takut, perlu diterapkan aturan seperti jaman Orde Baru kepada para koruptor dan anggota keluarga mereka. Kalau pada jaman Orde Baru ada istilah bebas G30 S PKI yang artinya seseorang itu bersih diri dan lingkungan dari keanggotaan PKI atau bukan keluarga orang yang pernah terlibat langsung di PKI, sekarang aturan “bersih diri” dan “bersih lingkungan” juga layak berlaku bagi para koruptor beserta anggota keluarga mereka. Mereka yang sudah melakukan tindakan korupsi beserta keluarganya dicap “tidak bersih diri” dan “tidak bersih lingkungan” dari perbuatan korupsi, baik langsung sebagai pelaku maupun keturunan pelaku. Jadi, mereka itu harus diberi sanksi moral dan sosial atas perbuatan yang telah mereka lakukan.

Kenapa sampai kepada keluarganya? Bukankah istri/suami dan anak-anak para koruptor ini ikut menikmati harta curian dari masyarakat dan negara itu? Mereka juga harus menerima ganjaran yang setimpal. KTP mereka perlu diberi tanda khusus agar semua bisa mengetahui bahwa pemilik KTP itu seorang koruptor atau keluarga koruptor. Akses mereka untuk menjadi pegawai negeri sipil, TNI/Polri, dan BUMN ditutup, sama sekali ditutup. Pokoknya mereka diperlakukan seperti Orde Baru memperlakukan para eks anggota PKI dan keluarga mereka.

Hukuman yang 7 tahun seperti dijatuhkan kepada Gayus barangkali ngga seberapa. Toh, setelah itu orang seperti Gayus, misalnya, selepas dari penjara masih bisa menikmati harta curiannya yang tidak tersita oleh negara. Memang benar kata-kata dalam lagu tentang Gayus yang akhir-akhir ini sangat terkenal. Andai a.. a.. aku jadi Gayus…. Sepertinya nyaman-nyaman aja jadi Gayus.

Karenanya, aturan BERSIH DIRI dan BERSIH LINGKUNGAN, sebagaimana diterapkan Pemerintahan Orde Baru, saat ini sangat pas diberlakukan kembali buat para koruptor dan keluarga mereka. Tambahi hukuman mereka dengan sanksi moral dan sosial; jangan hanya hukuman kurungan yang cuma sekilas dan denda yang tidak seberapa.

Sekali lagi, tindakan korupsi pantas mendapat ganjaran setimpal secara hukum, moral, dan sosial. Bukan sepert sekarang ini, terdakwa kasus korupsi diperlakukan media bak selebriti. Diwawancarai dan muncul di televisi dengan senyuman. Waduuuh… Mereka itu penjahat yang sejahat-jahatnya, manusia-manusia yang tidak bersih diri dan lingkungan dari perbuattan korupsi. Perlakukan mereka sebagai “pesakitan” jangan dianggap sebagai “diva”.

14 tanggapan untuk ““Bersih Diri” Ala Orde Baru untuk Para Koruptor dan Keluarganya

  1. PERTAMAX..!!!

    aturan BERSIH DIRI dan BERSIH LINGKUNGAN memang bagus.. tp rasanya tidak adil klo anak istrinya harus ikut memikul dosa padahal mereka tidak tahu apa-apa. apakah tidak ada cara lain yg lebih manusiawi?

    Suka

  2. klo bagi si koruptor, memang harus diberikan hukuman yang seberat beratnya. klo perlu hukuman mati. hal ini bisa belajar dari negara cina. akhirnya orang akan berpikir 2, 3,4 atau mungkin 100 kali untuk melakukan korusi.

    Suka

    1. Kalau memandangnya dari kacamata kemanusian memang seperti itu, kasihan. Itu seperti halnya perlakuan Pemerintahan Orde Baru kepada keturunan orang2 yang terlibat langsung maupun tidak langsung di PKI. Kalau mereka patut dikasihani karena banyak yang tidak tahu-menahu latar belakang aktivitas politik orang tuanya. Kalau koruptor? Jelas-jelas semua anggota keluarganya ikut menikmati uang curian bapak/ibu, suami/istri mereka. Supaya para koruptor kapok dan membuat calon koruptor mengurungkan niatnya perlu diberlakukan aturan awperti jaman Orde Baru itu.
      Mereka boleh di”cap” bersih dari korupsi kalau semau harta curian itu sudah dikembalikan kepada negara. gampang kan? Ini kan soal materi yang kasat mata (benda konkret) bukan soal ideolgi yang tergolong benda abstrak. 😀

      Suka

  3. bagaimana mau membersihkan korupsi, jikalau kita semua belum siap untuk melakukannya.

    bila kita sebagai orang yang diberi tugas mengentaskan korupsi harus berhadapan dengan kerabat ataupun keluaarga masih berfikir sungkan dan tidak menunjukkan ke-profesionalan dalam mengemban tugas tersebut.

    Suka

    1. Itu betul, bro. Yang menjadi intinya, para penegak hukum itu lupa bahwa tugasnya itu mengemban tanggung jawab dunia akhirat. Mereka juga lupa kode etik profesi mereka; lupa akan sumpah mereka yang dinaungi kitab suci masing-masing.

      Terima kasih apresianya. 🙂

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.