Sandal Bututku

Anak Bangsa
Anak Bangsa

Kawan, inilah aku. Kalau kalian bingung, yang ndak pakai sepatu itulah aku. Nah, yang dua itu teman-temanku. Yah, inilah kami, kawan. Aku dan teman-temanku. Kami tinggal di sebuah dasan, sebuah daerah kecil di tengah-tengah pulau yang katanya indah dan disukai wisatawan karena alamnya  yang masih “perawan”. Aku ndak ngerti itu. Aku cuma dengar dari orang-orang dewasa yang sering membicarakan itu.

Ya, aku dan teman-temanku. Waktu itu kami malu karena memang ndak pernah difoto. Kami juga malu karena yang ambil foto kami itu orang baru. Katanya orang-orang dari kota yang membantu ngurusi sekolahku. Itu juga aku ndak tahu, kawan. Aku cuma dengar dari guru-guru yang membicarakan itu. Tapi, aku bukan malu karena aku ndak pakai sepatu. Aku sayang sandalku karena itu satu-satunya milikku. Yah, kawan, sandal butut itulah satu-satunya alas kakiku. Aku ndak malu karena itu. Aku datang ke sekolah hanya dengan sandal bututku karena aku ingin mengejar cita-citaku.

Itulah aku, kawan. Aku ingin jadi guru. Nah, dua temanku itu punya cita-cita beda denganku. Kata mereka kalau sudah gede ingin ke Malaysia. Mereka ingin jadi TKI. Begitulah dua temanku, kawan. Mereka ingin ke Malaysia seperti kebanyakan orang-orang di dasanku.  Kata mereka ingin banyak uang.

Kawan. Yang kami tahu di dasan kami memang cuma ada guru dan orang-orang yang merantau ke Malaysia. Orang-orang lainnya jadi petani, buruh tani. Tapi, aku ingin jadi guru, kawan. Aku ingin pintar meski pergi sekolah hanya dengan sandal bututku. Aku memang tidak punya sepatu. Hanya itu alas kakiku.

Meski ke sekolah hanya memakai sandal butut sebagai alas kakiku, aku punya cita-cita jadi guru. Aku tidak ingin seperti bapakku. Mau tahu kerja bapakku, kawan? Bapakku seorang kusir. Pergi pagi dan pulang sore hanya dengan sedikit uang di saku. Hanya cukup buat makanku dan saudara-saudaraku. Tidak ada sisa buat beli sepatu sekolahku. Tapi, aku bangga dengan bapakku. Begitulah kawan, aku sudah ikhlas dengan sandal bututku.Aku tetap ke sekolah memakai itu.

Merah Putih di Dasanku
Merah Putih di Dasanku

O iya, kawan. Mau tahu bagaimana dasanku? Inilah wajah dasanku. Tanahnya subur. Hawanya sejuk.  Seperti yang kalian lihat. Itulah dasanku yang permai, kawan. Sawahnya membentang luas. Hari ini padi yang tumbuh pada bentangan  sawah-sawah yang luas di dasanku. Usai panin padi, tembakau yang menyubur di sawah-sawah itu. Memang subur sekali tanah di dasanku. Foto itu diambil orang baru dari kota yang datang ke sekolahku. Betul, kawan, sawah subur itu ada di depan sekolahku. Aku dengar orang kota itu berdecak kagum pada alam dasanku, “Indah dan suburnya dasan ini”. Sekali lagi, itulah dasanku kawan. Tapi, sawah subur itu bukan punya bapakku. Itu punya orang-orang kaya di dasanku, kawan. Bapak dan ibuku hanya punya tanah yang berdiri gubuk tempat tinggalku dan saudara-sauraku. Hanya itu. Itulah, kawan, mengapa aku sayang dengan sandal bututku karena hanya itu yang mampu bapak beli buatku. Tapi, aku ndak pernah malu karena aku ingin jadi guru di dasanku.

Ahai!!! Lihat Bendera Merah Putih itu, kawan. Berkibar gagah di atas tiang yang berdiri tegak di halaman depan sekolahku. Bagaikan panji-panji yang berkibar pertanda kejayaan dan kemakmuran sebuah kerajaan pada masa dulu. Itu juga aku baru tahu, kawan. Aku simak dari penjelasan Pak Guru. Pak Guru bilang jaman dahulu pada masa kerajaan-kerajaan, pengibaran panji-panji salah satunya untuk menandai kerajaan itu adalah sebuah negeri yang jaya dan makmur, gemah ripah loh jinawi. Yang aku pernah dengar cuma kata jaya dan makmur, kawan. Gemah ripah loh jinawi seperti bukan bahasa daerahku. Barangkali kejayaan dan kemakmuran hanya dinikmati orang-orang yang pakai bahasa itu.

Lalu, kawan. Apa Bendera Merah Putih yang berkibar gagah di depan sekolahku itu menandakan kejayaan dan kemakmuran negeriku? Sebuah negara yang  kata Pak Guru sangat luas terdiri dari berpulau-pulau. Aku ndak ngerti soal itu, kawan, karena yang aku tahu cuma dasanku. Aku hanya sesekali pergi ke kota kecamatan ikut bapakku yang sedang ngatar tembakau ke salah satu juragan di sana dengan cidomo bapakku. Hanya itu yang aku tahu, kawan.

Aku ndak ngerti apa itu jaya atau makmur, kawan. Yang aku dengar dari orang-orang dewasa, negara yang jaya dan makmur itu katanya ndak ada orang  miskin, ndak ada orang kelaparan. Itu kata orang-orang dewasa. Kalau begitu, kawan, kenapa aku sering lapar. Kata orang juga, bapak dan ibuku miskin. Aku pun sekolah hanya dengan sandal bututku. Tak beruang saku. Hanya kadang-kadang dan bisa dibilang jarang aku megang uang recehan untuk bekalku ke sekolah. Tapi, ndak hendak aku berkeluh kesah atas keadaan itu, kawan. Aku ikhlas dengan keadaanku.  Aku cukup senang karena tidak disuruh bapak dan ibuku ikut kerja seperti teman-temanku. Aku tetap disuruh sekolah oleh bapakku. Dan aku sekolah dengan hanya beralas sandal bututku. Tapi, aku ndak malu dengan itu, kawan. Aku ndak pernah malu karena aku ingin jadi guru.

Anak Bangsa
Anak Bangsa

Lihatlah aku, lihat kami, kawan. Kata orang aku dan teman-temanku itu anak dari keluarga belum sejahtera. Kami ndak punya banyak materi. Yang aku dengar dari orang-orang dewasa, kawan, anak-anak seperti kami ini, anak-anak dari keluarga yang belum sejahtera, masih banyak sekali di negeri yang benderanya berkibar gagah pada tiang yang berdiri tegak. Merah Putih sang panji itu memang berkibar dan tidak hanya di depan sekolahku itu, tapi di seluruh pelosok negeri ini. Itu yang aku sering dengar dari orang-orang dewasa di dasanku.  Tapi, itu bukan pertanda kejayaan dan kemakmuran seperti ketika panji-panji dikibarkan pada masa kerajaan-kerajaan jaman dahulu. Tegaknya Sang Saka Merah Putih, nama lain yang aku dengar dari Pak guru, tidak lagi sebagai pertanda gemah ripah loh jinawi. Kata orang-orang dewasa lagi, gemah ripah loh jinawi yang aku ndak ngerti artinya itu, hanya milik segelintir orang di negeri ini. Kejayaan dan kemakmuran masih bukan milikku dan teman-teman sepertiku yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini. Tapi, kawan. Lihatlah aku dengan sandal bututku itu. Aku tetap bisa tertawa dan ingin selalu tertawa karena hanya itu yang bisa menghibur diri.  Aku tetap ingin sekolah dengan gembira meski tanpa sepatu. Aku ingin menjadi guru.  Itulah cita-citaku meski aku pergi sekolah hanya beralas sandal bututku.


(Ini merupakan kisah fiksi yang terinspirasi dari foto-foto

yang saya ambil di SDN 8 Suradadi, Kabupaten Lombok Timur)

Glosari:

Dasan itu sama dengan desa.

Cidomo sama dengan alat angkutan yang ditarik dengan kuda, transportasi tradisional di Lombok.

46 tanggapan untuk “Sandal Bututku

  1. ada hal yang saya suka dari anak-anak desa pak..
    mereka lebih mencintai alam..
    dan mereka bermain dengan alam..
    beda sama anak-anak kota..
    yang cenderung lebih indivualistis…

    Suka

  2. Yang penting semangat untuk belajar, seperti kisah laskar pelangi meski penuh dengan kesederhanaan namun karena tekad yang kuat untuk belajar akhirnya bisa jadi orang sukses… Tetapi inilah potret pendidikan di negara kita… miris memang 🙂

    Salam Hangat

    Suka

  3. thanks. ceritanya mengharukan.(curhat dikit) Jadi inget massa kecil. ak sering mandi di sungai, trus di foto ma bule2 tu. eh ak ma temen2 rebutan di foto. hmmm..

    Suka

  4. @mylitleusagi: mungkin bukan karena suka tepatnya; mereka lebih menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Sebaliknya, alam menyediakan mereka tempat bermain yang lengkap. Mau bermain air, tinggal nyebur ke kali sebagai pengganti water boom :). Mau outbond, di desa merekalah tempatnya. Yang enak jadi orang desa. Aku kan wong ndeso juga 🙂

    @kanvasmaya: Bisa dijadikan tema puisimu kan 🙂

    @fansmaniac: Terima kasih dah mampir, Bung :). Di Lombok, terutama di desa-desa, masih banyak yang seperti foto itu dan mungkin di bagian lain seluruh negeri ini.

    @herrycly: Thanx juga dah ikut baca. Wah foto2mu tersebar di Eropa dan Australia nih 😀

    Untuk kawan-kawan, terima kasih apresiasinya. Dikritik tulisanku juga nggak apa-apa. Malah senang 🙂

    Suka

  5. gemah ripah loh jinawi istilah susuhunan di jawa barat, saya juga gak tahu apa artinya itu padahal dah lama hidup di bandung sini 😛

    Suka

  6. Salam Kenal Bang Muhammad, maaf bang baru bisa nimbrung tulisan abang di Blogger kita hari ini maaf sebelumnnya baru balas. bang salam kenal dari sumaterautara medan alamat di Labuhanbatu- Rantauprapat. Mengenai tulisan abang di blog kemarin saya pikir apa yg abang bilang betul..karena ada juga kebiasaan buruk guru apabila dia Pns dia gak punya tanggung jawab yg besar sebagai guru pada waktu honornya dahulu , setelah pns dia jd mala s alias mencari sambilan pada saat ngajar atau ngejob kesana sini…sehingga gak konsen untuk mengajar yag profesional yg diinginkan oleh pemerintah dengan adanya UUD guru dan dosen sekarang ini …terimakasih bang atas masukan dan opininya…salam. dari Zen

    Suka

  7. Seperti pepatah china, “satu gambar (foto) menyajikan seribu imaji”

    dan ini adalah sebuah pengimajian yang bagus dan membuat saya tersentuh. Entah, bagaimana sih pemerintah sekarang ini memandang kondisi pendidikan dan anak bangsa….

    duh, semoga ada perbaikan ya…

    sekolah saya juga dikampung yang dekat hutan bambu serta persawahan….. :D, dan sempat juga pake sandal, kalau musim hujan…..

    Suka

  8. @bluethunderheart: Terima kasih apresiasinya
    @red: Aku juga nggak ngerti artnya meski konsepnya tau 🙂
    @djiesaka: Pernah gak pake sepatu juga ternyata :). Sekarang jadi masa lalu yang indah kan?
    @sulaimanzen: Salam kenal juga Bung Sulaiman. Cerita soal guru mah nggak ada habisnya. Mudah-mudahan semua guru akan menjadi guru yang benar-benar pofesional.
    @Ucup Supriyadi: Terima kasih apresiasinya, Bung. Yang jelas masa lalu kita, semoga sekarang menjadi cerita indah.
    @catatanketuk: Terima kasih apresiasinya. Pasti nanti aku cari-cari info di blog Anda.
    @Phie: Betul sekali, Phie. Kadang kasihan anak-anak kota yang tempat hiburannya di mall. Tapi, anak desa juga kasihan dong, belum pernah tahu mall 🙂

    Suka

  9. Dear Rekan Netter…

    Salam perkenalan, dengan kerendahan hati, kami mengucapkan terima kasih atas apresiasi yang telah diberikan masyarakat Indonesia kepada EAGLE sebagai salah satu Sepatu Olahraga Terbaik Indonesia , Kategory Sepatu Olahraga , pada TOP 250 Indonesia Original Brands 2010 versi majalah SWA ( Ref. No.09/XXVI/29 April – 11 Mei 2010 ) atau bisa klik link ini :

    http://swamediainc.com/award/2009top250originalbrand/index_13.html

    Lihat koleksi kami di : http://www.eagle.co.id

    Terima kasih

    Suka

  10. entah apakah orang2 kota yang glamour.. menor.. dan mengedepankan gengsi itu tersentuh membaca tulisan indah dan menggugah ini… mungkin cuma di desa kita temukan orang2 yang sabar lan narimo seperti ini.. di kota??? kalaupun ada, rasanya hanya yang berprinsip untuk berpola hidup sederhana dan tidak ikut arus…
    salam Om,.. 😀

    Suka

  11. Asyhar sudaraku, cerita dari foto itu mengingatkanku akan keindahan Suradadi. Sebuah dusun (dasan) kecil yang tenang nan indah. Di sanalah aku, Didik, Syam, Bli Suarta, mamik Wildan…dan tentu saja dirimu. Sungguh pengalaman yang sangat berharga yang tidak mungkin kulupakan. Suradadi………..kapan aku dan teman-temanku bisa kembali mengisi hari-harimu????

    Suka

  12. Baca artikel diatas inget kampung halaman, teringat masa lalu yang mungkin tidak jauh dengan mereka yg diceritakan, tiap pagi sekolah jalan kaki sejauh 2 kilo, hanya dengan berbekal uang 50 perak. Pernah suatu saat karena ingin sekali seperti temen2 ke sekolah pakai sepeda, alhamdulilah ortu dapet rezeki dibelikannya aku sepeda, yang kalau kita genjot sepeda itu sampai muter semu girnya pasti rantainya copot, terpaksa genjot speda hanya setengah lingkaran doang dan yg paling menyenangkan pas nemu turunan, gak cape2 genjotnya, tapi alas sandal atau sepatu abis buat mengerem. Hehe… klw teringat masa lalu terkadang lucu dan menyenangkan, gha boleh sedih ya klw mengenang masa lalu, justru merasa bangga mempunyai orang tua yang begitu sayang dan perhatiannya tiada batas, walau merasa gak mampu tapi tetep berjuang untuk masa depan anaknya.
    Mkasih Alm. Bapa, smoga tenang dialam sana, dan utk Ibu yg lagi sakit smoga cepet sembuh. Hanya setitik do’a yang bisa dipersembahkan dari anakmu ini.

    http://asep4212.wordpress.com

    Suka

  13. sungguh sgt membuat saya kagum dgn tekad dan semangat juga harapan utk meraih cita2 wlo pun hanya beralaskan sandal berangkat dan belajar disekolah tdk seperti teman2nya yg mengenakan sepatu itu tdk membuat minder dan memupus semangatnya,jikalah dulu saya bersekolah seperti itu mgkn saya akan merasa sgt minder dan tdk akan mau sekolah…

    benar2 suatu pelajaran yg sgt berharga bahwa menuntut ilmu bknlh diukur dgn apa yg kita kenakan tp tekad dan keinginanlah yg dpt mewujudkan cita2 kita dalam meraih hari esok yg lebih baik 🙂

    “mempelajari ilmu karna Allah adalah khasyah,Menuntutnya adalah ibadah,mempelajarinya adalah Tasbih,mencarinya adalah Jihad,Mengajarkannya pada org yang tdk mengetahui adalah Shadaqah,menyerahkan pada ahlinya adalah Taqarrub. Ilmu adalah teman dekat dlm kesendirian dan sahabat dalam kesunyian.”

    salam 🙂

    Suka

  14. Inilah potret negeri kita yang kaya, Pak…yang kekayaannya tidak memberi dampak bagi rakyatnya, karena diurus oleh orang2 yang hanya memperkaya diri dan golongannya saja.. Bahkan kekayaan negeri kita yang menakjubkan ini pun malah untuk menopang ekonomi negera lain, negara besar yang menjadi kaya dengan mengeruk kekayaan alam kita. Kalaupun ada yang tersentuh untuk mensejahterakan masyarakatnya, tapi mereka tenggelam dan tergilas oleh sistim yang tidak kondusif untuk membuat rakyat lebih sejahtera. Sistim yang korup. Keinginan untuk menjadi guru pada tokoh dalam cerita ini, yang disebut berulang-ulang seolah sebuah teriakan

    Suka

    1. Karena kuncinya ada di sektor pendidikan. Sampai kapan kita terus dibodohi sehingga kekayaan alam kita terus dikeruk untuk kepentingan segelintir orang dan bangsa lain. Penjajahan ekonomi dan budaya masih tetap berlangsung jika generasi muda kita tidak bangkit melalui pendidikan.

      Suka

      1. Wah, komen yang kritis sekali dan saya sangat setuju. Bunda Etty, Terima kasih sudah mampir di blog saya. Selamat menjalankan ibadah puasa dan amalan-amalan ibadah lain di bulan nan suci ini. 🙂

        Suka

  15. Salut Pak buat tulisannya. ikut membantu sekolah juga ya pak? saluuuuuuuuuuttt Pak. iba rasanya melihat hal derita seorang anak yang begini ini. di kampung saya di Nias Selatan juga masih banyak yang seperti itu pak. Semoga orang yang mengurusi negeri ini bisa di bukakan pintu hatinya. amin. (dan sudah dimulai dari bapak nih….)

    Suka

    1. Amiiin. Terima kasih apresiasinya, Bung Andy. Profesiku guru di salah satu PTN di Mataram, Nusa Tenggara Barat… 🙂
      Foto-foto ditu diambil ketika kami sedang melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di SD anak-anak itu bersekolah. Dari penampilan anak-anak murid itulah ide tulisan ini muncul.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.